180 Derajat. Aku, Rasa Ingin Tahu dan Keraguan.

Dalam hitungan bulan, rencana-rencana yang lagaknya sudah disusun matang ternyata harus mulai diterima dengan baik-baik, bahwa tidak semua hal bisa berjalan semau kita. Sebagai sarjana muda yang hidupnya berbalik 180 derajat secara tiba-tiba, aku tentu berusaha untuk lebih bijak menerima apapun yang terjadi hingga hari ini. Tapi sekalipun penerimaan itu ada, tak berarti hari-hariku terbebas dari 'dilema'.

Hari-hari setelah sibuk mendaftar studi lanjutan, belajar bahasa inggris dan menikmati status sebagai orang yang menganggur, aku akhirnya terjun bebas, kembali pulang ke sebuah kota kecil yang sibuk.

Malang, begitu kota yang sudah ingin sekali kutinggalkan sejak tahun lalu, saat tugas akhir membuatku jengah dan mengutuki berbagai hal disekitarnya. Aku belum tau apa kata yang tepat untuk istilah putar balik ini. Kepulangan? Kedatangan? Kegalauan? Aku masih merasa tak cukup jernih mendefinisikan tujuanku kembali ke kota ini lagi.

Sebuah ketergesaan. Barangkali aku memang cukup tergesa-gesa mengambil keputusan. Tapi sebagaimana anak-anak di awal usia kepala dua, akupun rindu untuk memuaskan rasa ingin tahu atas segala. Aku ingin mencoba berbagai hal dan tak ingin melewatkan satu kesempatanpun. Sialnya, kadang aku salah mengambil kesempatan. Sialnya lagi, aku sering berdelusi bahwa kesalahan itu adalah sebuah tantangan untuk diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Sekalipun terkadang aku merasa tak nyaman atau tertekan.

Ini hari ketujuh aku bekerja di sebuah media sebagai seorang jurnalis. Bukan media besar, ia baru lahir sekitar tiga bulan lalu. Akupun masuk sebagai seorang yang baru, pengalamanku empat tahun di pers mahasiswa tak membuatku bisa bekerja hebat disini. Aku masuk sebagai si-bodoh yang masih belajar merangkak. Hari-hariku selama seminggu kuisi dengan menulis hal-hal yang kurang bermutu dengan karakter tulisan yang buruk rupa. Aku seperti hilang ingatan bagaimana mengendalikan sebuah isu. Hari ini, semua kejadian itu membuatku malas pada diriku sendiri.

Kepada seorang teman, aku mengeluhkan tulisanku yang buruk rupa. Ia, coi, yang sudah setahun bekerja di Malang Post dan pindah ke media baru di hari yang sama denganku menghiburku begini, "Kamu jangan terlalu merendah. Sudah terbukti majalahnya di Perspektif paling bagus", balasnya. Coi mungkin lupa, aku tak bekerja sebagai wartawan bertarget lima berita sehari kala itu. Aku tak begitu akrab dengan straight news. Aku lebih suka menyusun konsep dengan perencanaan yang jelas. Coi juga lupa, aku buta jaringan jurnalisme lokal di Kota ini. Itu cukup untuk membuatku gelapan satu minggu ini.

Lalu apa yang sebenarnya mendasari keputusan yang membuat segalanya tiba-tiba berbalik 180 derajat ini? Hanya karena sebuah pesan masuk dari seorang senior yang bertanya kepadaku, "Masih berminat mewarta?". Barangkali begitu.

Untuk sementara, rasa ingin tahu menjadi sebuah alibi yang menjagaku dari semua perasaan bersalah maupun dipersalahkan oleh mereka yang tak menyepakati apa yang sudah kuputuskan sampai hari ini.
Sialnya, malam ini tiba-tiba aku disergap pertanyaan.

Benarkah pekerjaan ini yang selama ini kuinginkan? Apakah aku benar-benar berbakat disini? Apakah aku benar-benar dibutuhkan dan bisa bermanfaat untuk banyak orang, bila aku terus menulis dengan cara-cara ini?

Entahlah.
Aku sedang memutuskan untuk tak sibuk merencanakan. Wacana-wacana yang mengambang di kepalaku membuatku malas untuk segera menjawabnya. Terlalu banyak. Dan terlalu tergesa-gesa untuk memberikan jawaban pada diriku sendiri.

Dari 180 derajat yang terjadi secara dramatis ini, aku belajar untuk lebih bersabar menunggu sebuah kesimpulan. Aku tak ingin membiasakan diri untuk gegabah. Sebab aku butuh kedewasaan untuk menyikapi semua yang muncul secara tiba-tiba.

Yang terpenting saat ini, setiap kali aku mengeluh, akupun harus punya jalan keluar di saat yang bersamaan. Demikian aku harus menyelesaikan semua yang terlihat berantakan ini. Setidaknya, aku tak ingin melewatkan akhir tahun dengan muka masam sebab dipenuhi kekecewaan. Aku ingin belajar bersyukur dari beban-beban yang tak kusangka kudapati sekarang.

Bunga Andong, 31 Agustus 2014
Sesaat setelah membaca tulisan-tulisan mas Gadi, seorang yang karenanya aku masih ingin menjajal dunia kewartawanan ini setelah sempat menguburnya selama dua tahun terakhir.




Comments

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula