Berburu Gipil, Menyuling Daun Cengkeh
Sumber Foto: Dokumen Swaratani.com-Didit |
Di bawah pepohonan
cengkeh, Wahyuti (54) tengah sibuk dengan ayakannya. Butir-butir rontokan
cengkeh kering ia pisahkan dengan remah-remah tanah. Gipil, sebutan untuk cengkeh-cengkeh yang luput dipungut para buruh
panen, dikumpulkannya kemudian disetor ke pabrik milik perkebunan cengkeh
Branggah.
Sekilo gipil
biasanya dihargai pabrik
Rp 7.000. “Kalau segini ya, dapatnya 800 ribu per bulan,”
ujarnya.
Jika panen
raya belum lama usai,
Wahyuti bisa mengumpulkan 10 kg gipil dalam sehari. Tapi jika sudah lewat tiga bulan sejak masa panen, memperoleh 3 sampai 4 kg gipil sudah untung.
Wahyuti tidak
sendiri. Ada puluhan perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan cengkeh
Branggah, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, Blitar, bekerja seperti dirinya. Setiap jam 05.00 pagi mereka dijemput mobil bak terbuka
milik pabrik dan sesampainya di perkebunan harus menyusuri lahan sambil menggendong
bakul-bakul wadah gipil. Jam 13.00, usai menyetor “hasil
buruan”, mereka baru akan diantar pulang.
Aktivitas mencari gipil hanya berhenti jika tiba musim
hujan. Para pekerja, yang rata-rata memang para petani,
kembali mengurus sawah. Tapi jika
ingin tetap bekerja di kebun, mereka biasanya akan dipanggil petugas pabrik
untuk mencari krosok, daun
cengkeh kering yang berserakan
di sepanjang kebun.
“Kalau
daun, ya, nunggu banyak dulu, nanti ke sini lagi, Biasanya kalau sudah banyak,
dipanggil sama orang perkebunan. Jadi, ya, udah
biasa selang-seling kerjainnya,” ujar Wahyuti.
Krosok tak sulit dicari dan
selalu ada sepanjang tahun. Mereka
bisa mengumpulkan puluhan kilo dalam sebulan. Hasilnya
lumayan,
Rp 1.500 per kg.
Sementara pekerja perempuan mencari gipil dan
krosok, para
laki-laki dipekerjakan pabrik sebagai tenaga
lembur atau borongan. Boiman, warga Ngadirejo, sudah ikut
bekerja serabutan di perkebunan Branggah
sejak
13 tahun silam.
Awalnya, Boiman ikut menjadi buruh petik saat panen
raya cengkeh. Karena dirasa bekerja lepas di perkebunan bisa memberi tambahan pendapatan, iapun memutuskan
untuk ikut bekerja serabutan. Apalagi
ia masih bisa bekerja di tengah mengurus padi dan jagung. Di perkebunan dia biasa bekerja mengairi
kebun dan memupuk.
“Kerjanya serabutan. Tapi, bayarannya per hari
selalu dihitung. Kami dapat Rp 23.500 per hari. Dibayarnya 15 hari sekali,
setiap tanggal 2 dan 16,” ujarnya.
Boiman mendapat
tambahan upah jika ada pekerjaan lembur. Sekali lembur menebar satu truk pupuk
kandang, biasanya ia dibayar Rp 55.000. “Lumayan, untuk tambah.
Kalau ngurus sawah aja nanti kurang.”
Ia mengaku setiap hari mengikuti jadwal absensi dari
perkebunan pada pukul 05.30 WIB dan pulang pada pukul 13.00 WIB. Bila mendapat
pekerjaan borongan untuk lembur, ia akan kembali pukul 17.00 dan selesai pukul
22.00 WIB.
Nyoto, warga
Sidorejo, sudah tiga tahun terakhir ini juga ikut bekerja sebagai buruh lepas
di perkebunan. Ia sebenarnya memiliki kebun yang juga ditanami cengkeh dan kopi. Tapi hasil kebunnya belum memuaskan lantaran
usia tanamannya masih terlalu muda. Apalagi kebunnya tak butuh banyak
perawatan.
“Ya, daripada nganggur
di rumah,” ujarnya. “Ini
jadi sampingan baru. Bayarannya, kan, udah
bisa dirasakan 15 hari sekali. Untuk kebutuhan sehari-hari.”
Menyuling daun
Lain di Doko, lain
pula di Dampit. Di Kabupaten Malang bagian Selatan, tepatnya di Desa Sukodono, cengkeh juga
menjadi komoditas rempah
utama. Memasuki desa ini, pepohonan
cengkeh tampak berdiri di
sepanjang jalan. Di halaman rumah-rumah
penduduk tampak teronggok karung-karung berisi daun cengkeh.
“Di sini hampir
semuanya yang punya kebun, punya pohon cengkeh,” kata Sutiani, salah seorang
petani cengkeh setempat.
Sukodono memang
dikenal
sebagai salah satu penghasil cengkeh terbesar di Malang, Jawa Timur. Letaknya yang tak jauh dari tepi pantai membuat
kebun-kebun cengkeh mendapat angin pantai. Suhu panas angin pantai membuat cengkeh dapat berbunga.
Meski semasa krisis
sekitar 1998 silam harga-harganya anjlok dan petani membabat kebunnya, nyatanya
cengkeh tetap menjadi pilihan. Bahkan luas lahan cengkeh di Sukodono kini tak kurang dari 100
ha. Setiap 1 hektar lahan rata-rata bisa ditanami 40
batang pohon cengkeh. Sekalipun ada kopi,
jagung, dan tebu, cengkeh masih menjadi andalan sebab harga jualnya paling
tinggi di antara yang lain.
Sumber Foto: Dokumen Swaratani.com-didit |
Musim panen tahun ini, per kg cengkeh kering dihargai
kisaran 137 ribu
rupiah. Jika
dijual basah, harganya kisaran 35 ribu
hingga 45 ribu
rupiah. Tangkai
cengkeh juga dikeringkan dan laku dijual seharga Rp 9.000 per kg. Tapi selain menyetor cengkeh mentah ke tengkulak, beberapa petani seperti Sutiani, juga
menyuling daun cengkeh dan menjadikannya minyak.
Sutiani, salah seorang petani cengkeh Sukodono, telah menjalankan usaha
penyulingan minyak cengkeh
sejak 1986 silam. Mulanya, seorang
tengkulak
di Dampit mengajarinya membuat mesin penyulingan minyak. Merasa usaha penyulingan cengkeh menguntungkan, ia
membeli peralatan penyulingan dan membangun dapur masak dengan biaya sekitar
40 juta rupiah.
Tungku penyulingan
cengkeh ia sewakan kepada setiap petani yang ingin memasak cengkeh.
Sekali masak, yang biasanya menghabiskan waktu 6 jam, ia memberi tarif sewa Rp
50.000. Setidaknya ada 21
orang yang antre menyuling setiap minggu.
Sekali
memasak,
mereka bisa menghabiskan 9 kuintal daun cengkeh kering. Daun-daun itu dimasukkan
ke dalam tungku dan ditanak di atas air mendidih. Uapnya dialirkan
melalui pipa-pipa besi yang didinginkan dalam kotak pendingin berisi rendaman
air menyerupai kolam.
Melalui uap tersebut, tetesan minyak dikumpulkan.
Petani biasa menggunakan sabun untuk memisahkan air dengan minyak. Saat menetes
ke dalam ember, minyak tersebut langsung
turun ke bagian bawah dan mengendap.
Sekali masak, dengan 9 kuintal daun, petani bisa
menghasilkan 34 liter minyak. Per liternya, tengkulak membeli dengan harga Rp
140.000.
“Harganya, kan, mahal. Malah di atasnya harga
cengkeh. Memang agak rumit prosesnya, tapi, kan, yang didapat juga banyak,”
ujar Siswanto, pekerja yang rajin menyuling
daun cengkeh.
Sebagaimana di Doko,
cengkeh terbukti terus menghidupi masyarakat di Dampit. Bertani cengkeh, salah satu Gemah Rempah Mahakarya Indonesia, bukan
semata pekerjaan, tetapi sudah melahirkan budaya dan memberdayakan warga.
Comments
Post a Comment