Tentang Mei Tahun Ini.
"Tapi aku bahagia, karena aku punya kesempatan dan kemungkinan untuk hidup dalam jalanku dan tidak sibuk memenuhi standard kemapanan yang ditentukan entah oleh siapa."
- JJ, bukan JJ Rizal Sejarawan.
Nasehat tersebut telah melekat di ingatan ketika Ibu Janty berbagi pandangannya soal hidup kepada saya, bulan Februari lalu. Saat itu, saya masih ragu pada diri saya sendiri. Benarkah saya sungguh ingin membagi hidup saya, kepada orang lain? Apakah saya melakukannya karena memilih, atau justru karena ketiadaan ragam pilihan?
Apakah saya benar-benar menginginkan pekerjaan apapun asalkan dengan gaji besar? Atau, apakah saya benar-benar sanggup bekerja suka rela, bekerja suka-suka dan rela dengan apapun yang didapat dari sana?
Bulan kemarin, saya mendapat beberapa pilihan yang menjawab pertanyaan tersebut meski sebenarnya tak benar-benar terjawab sepenuhnya.
Sebuah bank dengan reputasi yang baik, mengundang saya menandatangani kontrak kerja dengan penempatan 10 menit dari rumah, jenjang karir yang bagus, dan gaji awal yang tak kurang dari ekspektasi fresh graduate pada umumnya. Terlebih, fasilitas jaminan kesehatannya cukup menarik buat saya.
Bank lain dengan reputasi yang sangat baik, posisi yang sangat bagus, yang saya ikuti seleksinya sejak Februari lalu, menelepon untuk mengikuti medical check up. Sekalipun di luar kota, saya bisa kembali ke kota asal jika telah 1 tahun masa kerja.
Awalnya, saya memutuskan pulang dari Malang, untuk tujuan-tujuan yang demikian. Bekerja di dekat rumah dan gaji yang bisa meringankan beban keluarga.
Tapi ketika pilihan-pilihan tersebut dihadapkan di depan mata, saya justru tidak sanggup menjadikan mereka sebagai pilihan.
Saya tak punya cukup banyak alasan. Saya cuma merasa, tidak mampu menarik pekerjaan itu untuk masuk pada tahun-tahun dalam hidup saya.
Saya cuma; membiarkan diri saya sendiri untuk berkata tidak jika ternyata saya memang tidak menginginkannya.
Apakah saya tipe anak yang egois? Mungkin iya.
Apakah saya tipe anak yang bodoh, seperti yang mereka, orang lain yang sibuk menilai dari luar itu, kira?
Bisa jadi.
Tapi, apakah memilih sebuah pilihan milik kita, untuk kita jalani dan hadapi sendiri, sebegitu salahnya?
Apakah saya juga akan dihinggapi perasaan bersalah setiap kali memilih apa yang tak mereka inginkan?
Apakah ayah saya, di surga, mau memaafkan saya untuk kesekian kalinya jika barangkali ia juga tak menyukainya?
Apakah saya bisa memaafkan diri saya sendiri jika suatu hari tumbuh rasa sesal?
Apakah saya, akan menyesal?
Agaknya pertanyaan-pertanyaan itu cuma saya yang bisa menjawabnya.
Tentang Mei di Tahun Ini.
Saya sedang mengetik postingan ini di sela-sela kegiatan yang sedang tak padat-padat amat hari ini, di kantor.
Pada akhirnya, saya memilih menepi lagi di tempat yang jauh dari ekspektasi orang-orang yang mendorong saya untuk bisa sukses -dalam takaran mereka.-
Saya tak mempermasalahkan jika mereka bilang ini pekerjaan yang tak bagus-bagus amat, remeh, dan tidak membanggakan.
Jelasnya, saya bekerja dengan modal otak yang mesti sama sehatnya dengan badan. Beban-beban kerjanya, juga tak bisa dikerjakan serampangan, atau seperti sulap yang bisa jadi dalam sekejap. Tahapannya, tentu saja jauh lebih rumit dari sekedar mengomentari hidup orang.
Jika diibaratkan, saya ingin bisa mengolah makanan, bukan cuma untuk mengenyangkan diri saya sendiri, atau mendapatkan pujian dari orang lain bahwa saya hebat dalam memasak. Saya ingin bisa melakukannya dengan baik untuk diri saya, juga untuk orang-orang yang saya sayangi, untuk mereka yang lapar, dan bisa memotivasi mereka untuk bisa punya sesuatu.
Tapi, saya masih ingat pesan bapak saya. Jangan bermental sok pahlawan. Apalagi, pahlawan kesiangan...
Iya. Tugas saya di sini adalah belajar dan mengamalkan apa yang saya pelajari. Di luar itu, saya masih punya tujuan-tujuan lain yang luas. Tujuan buat diri saya sendiri, sih.
Seperti yang sudah saya bilang, kan? Saya ingin bisa memasak, untuk semuanya..
Jadi, saya bisa menyelesaikan rasa lapar saya, sekaligus orang lain. :)
Comments
Post a Comment