Juni kepada Juli

Hari Ulang Tahun

Dua puluh tiga saya dimulai dengan telepon ibu tengah malam. Mulanya, saya pikir, ibu akan memberi saya ucapan selamat ulang tahun dan berbaris-baris kalimat do'a. Saya sudah menyalakan tombol perekam panggilan. Berjaga-jaga jika saya ingin mendengarnya berkali-kali suatu hari nanti.

Namun, suara ibu tiba-tiba bergetar, parau, sebab menahan sesuatu di tenggorokannya. Ia berusaha agar tak menangis sesenggukan. Ibu mengabarkan sebuah berita duka yang juga membuat saya menangis hebat hingga pagi; kematian salah satu sahabat terbaik ayah saya.

Ibu pergi ke rumah duka malam itu juga. Menempuh perjalanan tujuh jam dengan kondisi fisik yang sedang tak baik, dan batin yang barangkali juga remuk kembali ketika ia mengantar almarhum ke pemakaman. Semua prosesi itu akan jadi dejavu bagi ibu. Memutar kembali memori menyedihkan November lalu.


Ibu saya baru ingat hari ulang tahun saya 4 hari kemudian, tepat saat hari ulang tahunnya tiba. Adik saya tak memberi ucapan selamat ulang tahun lagi. Dan tentu saja, yang menyedihkan dari itu semua; Saya tak bisa mendengar harapan-harapan baru yang diinginkan bapak atas saya -yang bertambah usia-, yang selalu saya terima setiap hari ulang tahun saya.


Pada usia dua puluh tiga, akhirnya saya menyadari suatu hal yang kemudian saya sesali. Seharusnya, saya tak pernah menganggap hari kelahiran adalah hari yang istimewa dan mesti dirayakan dengan segala kenangan, sejak dulu. Sebab, ketika bagian-bagian terbaik yang selalu mengisi kenangan itu pergi, saya akan merasa kecewa. Sebab juga, tak selamanya kehidupan berjalan manis seperti sedia kala.

Apapun itu, saya harap, saya bisa jadi lebih dewasa dalam arti yang seutuhnya.

8 Juni!

Ibu saya menelepon dengan nada penuh syukur meski ia harus menangis sesenggukan. Ibu telah membuka kado yang saya bungkus ketika saya pulang pada seminggu sebelumnya. Sebuah surat bergambar kartun yang saya gambar sendiri; dengan nasehat agar ia hidup sehat, minum susu dan vitamin secara teratur, dan agar ia panjang umur hingga saya dan Bima bisa mencapai titik yang lebih baik dari seluruh harapan ibu soal kami. Dalam surat itu, saya menulis betapa kami mencintai ibu dan rasa terimakasih karena ibu sudah memberikan segala yang ia punya agar kami bisa mendapat segala yang terbaik.
Entahlah, rasanya lega sekali mendengar ibu merasa bahagia.

Ibu menerima kado pertama dari kedua anaknya yang telah bekerja pada kondisi yang lebih baik, meski belum sangat baik. Sebuah kado mewah yang pertamakali bisa kami belikan untuk ibu. Mestinya tak perlu, sebab kami diajarkan untuk hidup sederhana. Tapi, sekali-kali, rasanya tak akan jadi kebiasaan buruk yang berlanjut.

Dan perenungan soal hari ulang tahun yang mestinya tak perlu dirayakan dengan kenangan agar tak ada kekecewaan; jika suatu hari ada yang pergi dan hilang; tak akan saya terapkan pada ibu. Saya akan berusaha selalu ada untuk ibu, dan memberinya segala kenangan yang menyenangkan untuk diingatnya pada hari-hari di mana, -mungkin tiba-tiba ia merasa tidak beruntung-, agar menguatkan.

Selamat ulang tahun, ibu.

Saya dan Pekerjaan

Well, ada benang yang mulai rumit di kepala saya setelah bulan-bulan ini lalu lalang dari lapangan-kantor-dan tempat-tempat luxury yang dipesan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan gerakan sosial untuk kelompok marjinal (fasilitas ini menimbulkan rasa yang ganjil saat didapatkan berulang)- dan forum-forum NGO dengan isian orang-orang yang banyak bicara, tapi kadang-kadang juga; beberapa punya sudut pandang yang mengesankan.

Ada banyak kontradiksi di setiap celah-celah itu.
Gerakan sosial yang dibenturkan pada banyak kenaifan.

NGO, bukanlah sebuah dunia pekerjaan yang cukup ideal untuk saya, hari ini. 
Idealisme, kebiasaan orang-orang dalam lingkarannya, visi misi yang bias dengan kerja-kerja proyek, hal-hal dibalik 'kerja kemanusiaan' dengan dana yang fantastis.

Bahwa tak semua pekerja sosial punya perspektif yang utuh dan baik soal isu penting pada cakupan kerjanya -yang mestinya telah jadi prinsip yang kuat, sebab itu adalah dasar ia menentukan sikap dan tindakan-.

Bahwa masih ada pekerja sosial yang masih berpikir konvensional, anti pembaharuan, dan saklek memakai teori-teori hebat pada zamannya, yang tentu saja mulai tak relevan jika dipakai sebagai satu-satunya patokan untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang baru muncul di era ini.

Bahwa mungkin, pada beberapa orang, beberapa kasus, beberapa karakter lembaga, adalah benar jika orang menyebut mereka hidup dari menjual nasib orang. Sebab mungkin keadaannya memang demikian.

Tapi tentu saja, tak cukup ideal bukan berarti benar-benar buruk.
Tidak semua pekerja sosial tidak tulus.
Banyak pekerja sosial yang benar-benar bekerja untuk kemanusiaan. Mengabdikan hari-harinya yang sibuk untuk memastikan sasaran penerima manfaatnya benar-benar mendapat perubahan kondisi menjadi lebih baik. Mengabdikan usianya untuk konsisten menjadi garda terdepan pada isu-isu yang ditanganinya, dari tahun ke puluhan tahun, hingga ia beruban.
Banyak pekerja sosial yang punya prinsip yang teguh untuk memberi pengaruh positif pada daerah yang ia tangani.

Tidak semua lembaga berorientasi proyek. Kebanyakan lembaga memang hidup dari proyek. Tapi di antara mereka, ada yang bertahan agar tak hidup untuk proyek. Beberapa menabung dana funding dengan menekan budget dan membayar pekerjanya dengan gaji yang lebih murah dari standart yang ditetapkan oleh 'makelar proyek tangan pertama'. Sebab, mereka mesti menyisikan dana untuk bisa terus memfasilitas dampingan-dampingan yang juga perlu ditangani, yang isunya 'tak menjual' untuk di danai oleh donatur.

Yang lebih krusial dari segala kontradiksi yang ada, semakin jauh bekerja di akar rumput, saya semakin merasa, betapa negara tidak pernah hadir untuk hal-hal yang penting bagi keberlanjutan hidup banyak orang -yang dianggap remeh, tidak berdaya, dianggap tidak ada, dan dianggap tidak akan pernah melawan apapun perlakuan yang diberikan negara pada mereka-.

Timpang.

Tapi yang timpang, tentu masih bisa dibenahi meski sedikit demi sedikit, kan?
Agaknya saya harus tetap menjaga isi kepala saya agar terus bisa berpikir positif meski ada seutas benang yang kehilangan kendali di dalamnya.


Comments

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula