Perempuan dan Kekerasan Domestik
(I) Ada lebam hitam di mata kirinya. Matanya yang sipit, sebagaimana keturunan Tionghoa pada umumnya, membengkak besar dan membuatnya kesulitan melepas pandangan.
Kulit di kepalanya memerah. Bekas ditarik paksa berulang kali dengan tenaga yang jika dibayangkan rasa sakit yang ditimbulkan, mungkin membuat kepalamu mendadak berat.
Sekujur tubuhnya dipoles luka-luka yang terbuka.
Ia punya seorang putri berusia 19 tahun. Salah satu alasan, mengapa ia mempertahankan hubungan yang kelam, hingga ia menerima perlakuan seburuk itu.
(II) Ia seorang katolik yang menikah dengan seorang katolik. Keduanya sama-sama bekerja sebagai dokter, yang pada dasarnya, mereka bekerja untuk menyembuhkan, menyelamatkan nyawa; untuk tugas kemanusiaan. Sayangnya, dokter tetaplah manusia dengan segala sifat yang dibawanya. Suaminya memiliki kelainan seksual. Ia selalu dihajar hingga lebam, luka, hingga tampak kesakitan, setiap kali melakukan hubungan seksual. Ia sudah mencoba memberi tahu orang-orang terdekatnya bahwa ia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sialnya, tak seorangpun percaya.
Sebab, suaminya selalu memberinya obat, merawatnya, dan melarangnya keluar rumah hingga luka-luka itu samar.
Anak-anaknya tak mau tahu soal rencana perceraian. Menurut mereka, perkara rumah tangga adalah sebuah masalah yang mesti diselesaikan hanya oleh mereka berdua.
Dan sulitnya proses perceraian secara Katolik, membuatnya memutuskan untuk mengurungkan niat untuk segera melawan keadaan. Ia menghadapinya: sendirian.
(III) Pisau dapur sempat melintang di depan lehernya. Bukan, ini bukan adegan drama sinetron. Kejadian ini dialami seorang perempuan muda saat terlibat pertengkaran dengan suaminya. Ia mengetahui suaminya berselingkuh, lalu ia marah. Sialnya, suaminya jauh lebih marah sebab tak ingin disalahkan. Arogansi yang sering didapatkannya pada masa mereka berpacaran itu, muncul lagi. Suaminya mengancam akan membunuhnya jika ia meributkan hal itu.
Pernikahan itu sebenarnya tak pernah direncanakan. Ia telah lama berpacaran dan berniat memutus hubungannya karena kerap mendapat tindak kekerasan. Sayangnya, ia hamil di luar pernikahan. Mau tidak mau, tuntutan sosial membuat ia membiarkan pernikahan itu berjalan.
Sampai saat ini, ia belum punya sedikitpun keberanian untuk melawan. Ia masih berusaha menganggap segala yang ia alami adalah suatu yang wajar.
Mungkin karena lelah memulai kembali.
Bayangan perceraian di usia pernikahan yang belum seumur jagung itu barangkali telah membuat perempuan berusia kepala dua itu, takut untuk mengakhiri kekerasan yang ia alami.
Jika rekonsiliasi tidak berjalan baik dan suami terus melakukan tindak kekerasan, kenapa tidak menempuh jalan perceraian?Mungkin ketiga kisah perempuan dalam lingkaran kekerasan domestik di atas bisa sedikit menjawab pertanyaan itu. Ketiganya hanya sebagian kecil. Di dunia nyata, dalam jutaan rumah tangga yang tak kita kenali, ada banyak penyebab mengapa perempuan tak segera mengemasi barang-barangnya, pergi, dan memutuskan untuk memulai hidup baru yang lebih manusiawi. Ada banyak peristiwa, cerita yang kita kira hanya ada dalam naskah film. Sebab-sebab yang kadang sulit diterima akal sehat.
Mengapa kekerasan domestik kerap kali terjadi berulang pada satu korban? Mengapa mayoritas korban adalah perempuan, dan pelaku adalah laki-laki?Masalah rumah tangga dianggap tabu untuk diceritakan di luar sebab dianggap aib. Pertengkaran dan separah apapun dampak yang ditimbulkan, sesering apapun itu, akan terus ditutup di ranah keluarga jika terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Terkadang, urusan keyakinan seseorang juga menjadi penyebab berulangnya tindak kekerasan. Misalnya: Menganggap suami berhak menguasai istri secara penuh dan otoriter berdasar ajaran agama (dalam tingkat pemahaman yang mampu ia serap), menghajar istri dengan dalih mendidik untuk patuh, dan lainnya.
Lalu, mengapa kebanyakan korban adalah perempuan?
Dalam budaya yang sudah mengakar, di manapun itu, laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Perempuan dianggap kelas dua, seringkali dinomorduakan, dan dianggap tidak berdaya. Sementara anak laki-laki dibesarkan dengan tuntutan agar mereka tumbuh kuat, berani, dan kadang pada beberapa orang: diajarkan untuk tidak toleran dengan apapun yang dianggap mengganggu. Laki-laki superior, perempuan inferior.
Perempuan dibesarkan dengan mindset harus lebih banyak mengalah, menurut, dan dianggap pembangkang jika melawan.
Selain itu, dalam mayoritas rumah tangga, perempuan selalu menanggung beban ganda. Ia harus merawat anak, suami, mengurus rumah, sekaligus mencari nafkah. Terkadang ia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit seperti: merawat anak secara penuh, atau bekerja dan menitipkan anak-anak mereka pada orang lain. Jika ia memilih anak sebagai prioritas, maka ia tidak bisa bekerja dan berdaya atas dirinya sendiri secara ekonomi.
Sayangnya, dari kondisi yang serba dilematis itu, pilihan tersebutlah yang seringkali menjadi bumerang bagi perempuan di kemudian hari, saat mereka menjadi korban kekerasan suami.
Selain itu, dalam mayoritas rumah tangga, perempuan selalu menanggung beban ganda. Ia harus merawat anak, suami, mengurus rumah, sekaligus mencari nafkah. Terkadang ia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit seperti: merawat anak secara penuh, atau bekerja dan menitipkan anak-anak mereka pada orang lain. Jika ia memilih anak sebagai prioritas, maka ia tidak bisa bekerja dan berdaya atas dirinya sendiri secara ekonomi.
Sayangnya, dari kondisi yang serba dilematis itu, pilihan tersebutlah yang seringkali menjadi bumerang bagi perempuan di kemudian hari, saat mereka menjadi korban kekerasan suami.
Mereka, akan lebih banyak diam dan tidak melawan, sebab mereka bergantung secara ekonomi sepenuhnya kepada suami.
Apa yang bisa dilakukan perempuan jika ia menjadi korban kekerasan?
- Percayalah bahwa kamu tidak sendirian. Keyakinan itu harus ada, sebab saat kamu merasa sendiri, kamu akan terus ada dalam lingkaran kekerasan dan terus menjadi korban. Tentu saja, akan selalu ada banyak bantuan untukmu dan anak-anakmu jika kamu membutuhkan itu.
- Jangan pernah ragu untuk menceritakan masalah dan kekerasan yang kamu alami kepada orang yang kamu percaya. Keluarga, saudara, teman, pembimbing agama, pastur, konselor, atau dokter keluarga.
- Simpan nomor-nomor lembaga yang membantu perlindungan dan advokasi perempuan korban kekerasan di kotamu. Hubungi mereka, sebab sekali lagi, kamu tak pernah sendirian.
- Jika kamu memutuskan untuk tetap tinggal dalam bayang-bayang kekerasan dengan berbagai pertimbangan, maka buatlah rencana jika kamu menghadapinya lagi. Simpan kunci mobil atau kendaraan, dokumen pribadi. dan uang yang cukup di tempat yang aman dan dekat denganmu, sehingga memudahkanmu untuk segera pergi jika situasi darurat terjadi.
- Pastikan kamu punya satu tempat yang aman sebagai tujuan untuk pergi jika kondisi darurat kekerasan terjadi padamu.
Nasehat untuk laki-laki dan para suami
How a real man treats his wife?
“A real man doesn't slap even a ten-dollar hooker around, if he's got any self respect, much less hurt his own woman. Much less ten times over the mother of his kids. A real man busts his ass to feed his family, fights for them if he has to, dies for them if he has to. And he treats his wife with respect every day of his life, treats her like a queen - the queen of the home she makes for their children.” ― S.M. Stirling, Dies the Fire
Image source: listotop |
LOVE SHOULDN'T HURT!
Comments
Post a Comment