Menjadi orang dewasa yang ramah anak; sebuah bakat yang ingin dimiliki sebelum menjadi ibu

"Pendidikan sangat berpengaruh besar terhadap perempuan, karena ia adalah ibu, pendidik yang pertama-pertama" -R.A Kartini
(Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901)


Saya baru saja membuka beranda facebook dan menemukan Jurnal Perempuan tengah mengunggah status, mengutip sepotong gagasan R.A Kartini di atas.
Buru-buru saya menuliskan apa yang membuat saya dengan penuh keyakinan, mengiyakan gagasan itu, di sini. Agar tak lupa, sebab akhir-akhir ini banyak sekali yang perlu saya ingat meski tak terlalu suka menyimpan mereka di kepala.

Bulan Desember lalu (entah kenapa bulan terus berganti dengan cepat, ya?), saya mengirim sebuah video pendek tentang pendidikan bagi saya, untuk diputar bersama video yang lain, di kantor C ASEAN, di Bangkok. Di dalamnya, ada statement saya mengenai pentingnya pendidikan untuk menghapus pernikahan paksa bagi anak-anak perempuan di bawah umur. Sebuah realitas pahit yang perlu saya genggam terus, supaya di setiap kesempatan, saya tahu apa yang menjadi tujuan saya bergerak. Sebuah realitas pahit, yang seolah tidak terjadi, namun terus menggerogoti nasib banyak anak perempuan di manapun.

Video tersebut ditonton oleh 80 anak-anak muda dari 10 negara yang terdiri dari pendidik, pelajar, pekerja sosial, dan lulusan perguruan tinggi yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Seorang duta besar US ada di sana, saya tak begitu mengingat namanya sebab pidato sambutaannya tidak menarik. Surin Pitsuwan, seorang lain yang memberi pidato, jika tak salah ia adalah sekretaris umum ASEAN sekaligus kepala institut Future Inovative Thailand, menyampaikan beberapa potong pesan yang berkesan tentang pendidikan. Tapi saya tak ingin mengulasnya di sini saat ini. 

Sebab, meskipun banyak yang menarik di sana, agaknya, saya mulai menyadari bahwa pembicaraan di ruang diskusi yang 'elit' memang terlampau muluk-muluk. Orang-orang sudah bicara tentang karir, kemajuan teknologi, kecapakan bahasa inggris, atau anak-anak muda yang dengan  jeniusnya mengubah mentimun menjadi alat musik. Di sini, saya masih bernapas di sekitar anak-anak yang berhenti sekolah pada pendidikan dasar, tidak bisa baca tulis, jadi kurir drug, atau diminta bekerja sebab orangtuanya tak bisa membiayai sekolah. Atau, lebih parahnya, ia mesti mengasuh anak yang keluar dari rahimnya sendiri, di usia anak-anak.

Saya bukannya denial dan menolak kemajuan, atau sekedar meratapi keterlambatan perkembangan di sini. Tapi, terbawa arus muluk-muluk itu bisa membuat saya memaksakan ekspektasi yang berlebihan kepada anak-anak ini. Padahal, yang baik selalu lahir dari proses yang benar. Yang belum bisa, dipaksa bisa dalam tingkatan yang tiba-tiba tinggi, akan lebih mudah tergerus oleh semangat untuk menyerah sebelum sempat berkembang.

Mendukung anak dimulai dari hal-hal sederhana

Afgan, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun menekuk kepalanya ke bawah dengan bibir yang hampir terbalik. Sebuah ekspresi anak kecil yang menahan rasa ingin menangis, dalam bentuk yang paling menggemaskan. Ia menunggu gilirannya tiba untuk mengenalkan diri di depan sekumpulan riuh anak-anak dari berbagai usia. Ketika tiba waktunya, ia mendadak diam dan sesenggukan. Mulanya saya tak bisa menahan tawa karena wajahnya yang begitu menggemaskan. Tapi ketika melihat Pupi, teman saya, maju berdampingan di sisi Afgan, saya jadi bahwa perilaku kita sebagai orang dewasa, sesederhana apapun akan memengaruhi psikologis anak.

Ketika kita hanya menyuruh Afgan, lalu membandingkannya dengan anak-anak lain semisal dengan perkataan "Ayo dong, yang lain aja berani, masa kamu enggak?", dan bertepuktangan ketika ia terpaksa berdiri di depan publik setelah menangis sesenggukan sebelumnya: It doesn't help. Kita hanya mendapat kepuasan seolah kita berhasil membuatnya lebih berani namun sebenarnya bisa jadi kita meninggalkan efek traumatis.

Pupi maju berdampingan di sisi Afgan, untuk menyatakan dukungan kepada Afgan bahwa ia tidak sendirian. Afgan merasa lebih nyaman ketika ia tidak berdiri sendirian. Ia pun memperkenalkan diri bersamaan dengan Pupi yang memberinya contoh tanpa nada serius dan menggurui. Afgan lalu kembali ke tempat duduknya dengan raut lega dan senyum di pipinya yang naik.

Lain waktu, saya bertemu seorang ibu yang membentak anaknya di depan umum hanya karena si anak merengek lelah di tengah aktivitas belanja di bagian butik pakaian perempuan dewasa.
Padahal, menurut sebuah penelitian Lise Gliot, membentak anak-anak memiliki efek destruktif pada sel otak mereka. Jadi, lebih baik, kita mengontrol kemarahan dengan tidak membentak ketimbang kita memberi pengaruh buruk pada perkembangan otak anak-anak.
Lagipula, menurut saya, anak-anak tidak punya kewajiban untuk ikut berbelanja. Ia punya hak untuk memilih tidak ikut, dan orang dewasalah yang harus mencari alternatif lain untuk punya waktu sendiri jika ingin berbelanja kebutuhan dengan tidak melibatkan anak. Misalnya: bergantian menjaga anak dengan anggota keluarga lain.

Orangtua punya pengaruh paling besar dalam pembentukan perlaku anak. Sebab seperti yang kita tahu, anak-anak sangat mudah meniru. Jika kita tak mau mengantri, bicara buruk kepada orang lain, bertindak tidak adil, curang, rasis, berbohong dan memukul binatang, misalnya, tak jauh-jauh, anak akan punya perilaku yang sama.

Di lain sisi, pendidikan sangat memengaruhi bagaimana orang-orang dewasa bertindak. Pengetahuan yang didapat akan membentuk perilaku orang dewasa untuk semakin mudah membedakan mana yang tepat dan kurang tepat. Bukan melulu pendidikan formal, tetapi juga ajaran-ajaran berbuat baik dan berperilaku adil.

R.A Kartini benar bahwa pendidikan sangat penting bagi perempuan, sebab perempuan adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Ia adalah ibu, yang dari tangan dan isi kepalanya, akan menentukan bagaimana anak-anak bertumbuh kelak. Betapa penting, membantu perempuan-perempuan untuk mengakses pengetahuan dan ketrampilan supaya ia juga bisa mendewasakan dirinya sendiri.

Tentu saja laki-laki juga punya peran yang sama untuk saling support dan mengingatkan bagaimana memberi dukungan kepada anak, di mulai dari hal-hal yang sederhana sampai yang paling rumit.

Merenungi hal ini, saya jadi punya cita-cita untuk menjadi orang dewasa yang ramah anak. Sebuah bakat yang ingin saya miliki sebelum menjadi ibu. Misalnya mulai hari ini, bacaan yang saya habiskan, informasi yang saya biarkan masuk di dalam kepala, dan barangkali jika ada kesempatan untuk bersekolah lagi, adalah jalan panjang saya untuk memperbaiki diri supaya saya bisa jadi lebih memahami anak-anak. Sebab rasanya, pekerjaan yang paling sulit ialah menjadi ibu yang baik bagi anak-anak. Bukan begitu? Mari sama-sama belajar!

Résultat de recherche d'images pour "mom and kids""
image from: https://www.parentmap.com/article/siblings-kids-fighting-solutions







Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula