Blessing in Disguise

Ada banyak hal menyenangkan yang patut disyukuri karena itu diberikan dan dibiarkan terjadi pada hidup kita.
Akhir-akhir ini, beberapa teman tiba-tiba mengontak saya secara berturut-turut.
Sebenarnya, meski hidup dalam jarak, kami masih dihubungkan oleh postingan-postingan di media sosial. Melalui instagram, bbm, twitter, facebook, dan blog, sedikit kabar bisa tersampaikan walaupun tak menyapa langsung.

"Apa kabar, Nita?", "Ta, lagi di mana? Kabarmu baik?", "YDLW apa kabar?", "Kamu sehat?" "Lagi sibuk apa?", dan sapaan-sapaan lain yang biasanya jarang sekali ada dalam keseharian.
Seorang teman mengamati status bbm, yang sebenarnya dengan jahat dianggap sebagai 'hiburan' ketika semua sedang menyindir satu orang yang sama dalam rutinitas yang semakin rumit, di lokasi kerja, maupun di wilayah lainnya.

"YDLW sering ngeluh soal ****** di status." Kata Adin. Iya, Adin. Sebenarnya, tak harus mengeluh, sih. Meski Adin bilang, wajar manusia mengeluh, saya mendadak merasa malu dengan ke-absurd-an yang terjadi dalam diri saya sekarang. Sekalipun Wiji Thukul bilang gawat, jika rakyat tak lagi berani mengeluh. Namun, sesadar-sadarnya, saya tahu, persoalan-persoalan itu terlampau sepele, untuk dikeluhkan.

She is lost control. Begitu saya menggambarkan kondisi saya saat ini. Terkadang surut mengikuti arus yang ada. Sedikit malas untuk keluar dari kotak yang mengekang semua bentuk semangat, kreativitas, dan rasa yang menggebu-menggebu untuk jadi anak muda yang produktif. Serupa patah hati, ketika menemukan passion yang menyenangkan untuk diselami, tapi tak di tempat yang seharusnya.

Blessing in Disguise. Senior saya berkali-kali menyebut kata itu agar saya bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian, Mengambil berkah dari celah yang membuat kami jengah. Mensyukuri setiap pelajaran dari kondisi apapun. Mencoba memahami maksud Tuhan dibalik hal-hal menyebalkan yang kita alami akhir-akhir ini.

Seharusnya saya memang bisa menjadi orang yang lebih positif, sesuai komitmen saya pada diri saya sendiri. Tapi agaknya, sulit menjadi positif ketika kita berada pada ruang dengan muatan yang serba negatif.

Mra, teman baik saya di Yangon, juga sedang curhat yang serupa. Ia bercerita kebutuhannya soal teman yang mestinya lebih bisa memahaminya. Saya sok-sokan menasehatinya dengan kata-kata yang sebenarnya sulit saya terapkan sendiri. "Try to be more positive, Mra. Everything is not running well as we plan, but face it. Do all we can do."

Blessing in Disguise. 

Mei akan segera habis. Sebentar lagi saya 24 tahun. Sebuah usia yang tak dinantikan untuk tiba secepat ini.

Tapi banyak hal yang mesti dikerjakan. Saya ingin lebih bisa membagi hidup dengan orang lain. Memberi apa yang bisa diberi selama itu bisa dan perlu, Mempelajari hal-hal yang disediakan oleh waktu. Menerima apa yang telah diberi dengan rasa syukur. Dan tetap menjadi saya yang tak perlu memaksakan diri mengikuti arus yang ada hanya agar dianggap normal dan dipuji benar. Atau untuk sekedar...disayangi, sebagai sebuah hal yang terasa palsu.

Bulan Juni nanti, saya akan melakukan rutinitas yang barangkali masih sama.
Hari ulang tahun hanya perubahan hitungan angka.
Ini kalimat klise yang selalu saya ucapkan setiap hari ulang tahun itu tiba, hingga barangkali selalu terdengar tak siap menghadapinya.
Tapi perjalanan baru yang akan banyak merubah rutinitas setahun ini, memang baru tiba di bulan Agustus nanti. Saya harap, saya masih bisa jadi gadis yang kuat.

Omong-omong soal hal-hal yang saya sayangi di tengah kekacauan di sekitar saya, adalah saya yang masih sempat menghabiskan (meski tak banyak) waktu dalam moment yang akan dirindukan kelak. Saya bagikan, sebagian, di dalam postingan ini. Sekaligus menjawab kecemasan dari kalian, yang masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabar. :)



Saya akan rindu berada di tengah mereka, anak-anak yang penuh energi dan semangat. Belajar hal baru bersama, mulai dari nol dan menyelesaikannya dengan karya. Membentuk kelompok, bicara ide cerita, bicara naskah, bicara scene, bicara adegan, bicara dialog, hingga film karya mereka benar-benar ada.

Saya akan rindu moment seperti ini. Bekerja setiap pukul enam pagi, pada masing-masing hari minggu dalam tiga bulan, untuk mereka.

Saya akan rindu mereka. Gadis-gadis saya yang merelakan jatah  perpanjangan tidur pagi harinya dipinjam untuk kegiatan-kegiatan di hari libur. Hari pertama kampanye layanan pengaduan untuk perlindungan anak. Beberapa hari, sebelum kasus Yuyun diangkat di media.

Saya akan rindu bekerja dengan orang-orang menyenangkan seperti mereka. Ladang saran untuk hal-hal yang kadang sulit saya pahami, juga ladang pengalaman. Dari mereka, saya tahu beberapa hal yang tak diajarkan dalam sekolah namun persoalan yang serius tentang memaknai hidup. Mereka mengalaminya sendiri, mereka membagi hikmahnya.

Indar, Naja, Cahya, adek-adek semuanya, saya akan rindu mereka.
Duduk di pinggiran kali, menemani mereka mengambil gambar untuk film yang mereka buat. Sesekali Indar, gadis berbaju ungu di sebelah saya, iseng memanggili nama saya berkali-kali, "Kak Nita, Kak Nita" lalu mencubit lengan saya yang besar sekali. Atau saat semut angkrang merambati kerudung, Ia dan beberapa yang lain repot-repot membersihkannya sambil menasehati agar saya tak bersandar lagi di tiang kayu. "Awas, Kak. Banyak semutnya!"

Menghabiskan suatu siang yang panas dengan mereka. Dari rumah ke rumah, ke pengepul sampah, ke tempat pembuangan sampah. ke kali. ke rumah ini. Rumah Naja, tempat di mana saya dijamu dengan begitu haru. Es nutrisari yang seketika membuat saya yang tak bisa terlalu banyak minum es batu, flu, sesampainya di rumah. Gado-gado, kerupuk petis, dan gelas jamuan yang pecah karena riuhnya anak-anak yang semakin sore semakin tak terkendali

Saya, yang introvert parah, mulai bisa berdamai untuk bicara di depan banyak orang. Saya bagikan di sini, sebab saya paham betul, ada banyak orang seperti saya yang lebih bisa bicara lewat menulis ketimbang lisan. Percayalah, ada hari-hari tertentu di mana kita bisa melewati demam panggung itu.

Berlibur bersamanya sehari penuh. Membawanya ke tempat yang jauh dari rumah, memahaminya lebih jauh. Menemaninya makan siang di bawah pohon. Menemaninya pergi ke atas bukit sebab ia ingin tahu segala yang tersembunyi dan menanyakan apapun yang baru dilihatnya. Mengajaknya berjalan di tengah keramian alun-alun. Menemaninya membeli apel untuk mamanya, dan mendengarkan ia bercerita tentang cowok ganteng yang ditunjuknya berkali-kali di tepi air mancur. "Ganteng ya, kak, cowoknya. Tapi sudah punya pacar, kak. Itu di sebelahnya." Tuhan. Adalah sebuah kelegaan, bisa mendengarkan perasaannya tentang orang lain."

"Kak, pinjam boleh? Coba ya, kak." Ia selalu panik ketika melakukan hal-hal yang menurutnya rumit. Baru diajarkan menekan tombol shutter, ia sudah beberapa kali mengeluarkan kalimat, "Gimana, kak? Ini, gimana? Terus gimana? Gimana pencetnya, kak?" Dan ini, adalah foto pertama saya yang diambil oleh Vera. Dia bisa. Memotret, seperti yang lain!

Berlibur, seperti ini. 

Juga seringkali kabur keluar. Sekedar mengendarai motor baru gadis kesayangan saya yang rasanya tak lagi seperti naik odong-odong (motor lamanya itu telah di wakafkan kepada sang mama, lalu dijual kepada saudara dekatnya). Kabur membeli jus, mengantarnya ke ATM, membeli camilan tak sehat penuh MSG jika sedang khilaf, ke manapun, asal bersamanya, bisa mengembalikan banyak energi yang hampir habis. Ia, yang penyabar dan penyayang. Yang seringkali bertengkar di saat kami sama-sama sedang menyebalkan; karena emosi, dan lelah, dan jengah dengan banyak ulah orang lain di sekitar. Tapi pada waktu yang singkat, segera saling menyapa dengan panggilan kesayangan. Dengan nada yang minta dipeluk sekali. Dan kami kembali duduk bersama lagi, menghabiskan hari. Dari mulai menertawakan banyak hal dungu  hingga bicara serius tentang masa depan yang kami inginkan. Lalu biasanya kami hanya tidur, larut, di saat pekerjaan kantor sudah semakin memuakkan. Atau sesekali saat ruhnya sedang sehat, ia mengerjakan tugas akhirnya. Saya menungguinya sambil meneruskan membaca buku, di saat kebiasaan membaca saya sudah hampir punah dimakan kesibukan.

Ada banyak hal menyenangkan yang patut disyukuri karena itu diberikan dan dibiarkan terjadi pada hidup kita. Kita hanya perlu belajar menikmatinya, merawatnya dalam ingatan sehingga sesekali bisa dibuka kembali jika butuh menyadari, seberapa jauh Tuhan menjaga kita agar terus bertumbuh dalam cara-cara yang menguatkan. Dari cara yang barangkali tak bisa kita dapatkan, jika punya cerita yang lain, berada di tempat yang lain, mengenal orang yang lain, melakukan hal lain, dan juga barangkali jika; saya memutuskan untuk menyerah pada jauh-jauh hari sebelumnya.



Terimakasih, Mei. Cheers!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula