Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Hello, guys!
2 hari lagi, rangkaian kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang dilaksanakan sejak tanggal 25 November hingga 10 Desember akan berakhir. Selesainya rangkaian kampanye ini juga bertepatan pada hari peringatan Hak Asasi Manusia. Tapi, berakhirnya kampanye ini, bukan berarti kita justru berhenti melawan kekerasan terhadap perempuan, ya.. Semoga ini bisa jadi bekal kita untuk bersama-sama menghapus segala bentuk kekerasan berbasis gender.
Hmm, sebelum berbagi sedikit cerita tentang perempuan yang saya dapati dari sekitar, saya akan sedikit mengulas, sebenarnya, untuk apa kampanye ini dibuat? Apa saja sih, yang terjadi sejak tanggal 25 November hingga 10 November, dan apa kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan?
Nah, kalau soal sejarah... daripada panjang lebar bicara sejarah yang mestinya perlu dipelajari dulu sampai tuntas (dan saya masih belajar sepotong-sepotong soal ini :p), maka saya akan mengutip (dengan sedikit penyuntingan) informasi dan penjelasan mengenai hal ini dari halaman website komnas perempuan yang bisa diakses melalui link berikut:
"Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism
Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong
upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas
oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang
disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Setiap
tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari
Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10
Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya
rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara
kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
25 November: Hari Internasional untuk Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan diperingati pada tanggal ini sebagai penghormatan atas
meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa) pada
tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki
tangan pengusasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael
Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti
memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap
kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka
mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan
keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menandai ada dan diakuinya kekerasan
berbasis gender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari
Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981
dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.
Sementara itu, rangkaian 16 hari ini, berdasarkan sejarah perjuangan dan kekerasan yang dialami Mirabal bersaudara, adalah lamanya hari mereka disiksa hingga meninggal.
Kalian bisa melihat kisahnya yang diadaptasi dalam sebuah film berjudul "In The Time of The Butterflies" yang bisa ditonton di sini https://www.youtube.com/watch?v=CGgnmyOsqv8
(Kalau saya punya waktu luang, saya akan mencoba menulis review filmnya)
1 Desember: Hari AIDS Sedunia Hari - Pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri
kesehatan seluruh dunia pada tahun 1988. Hari ini menandai dimulainya kampanye
tahunan dalam upaya menggalang dukungan publik serta mengembangkan suatu
program yang mencakup kegiatan pencegahan penyebaran HIV/AIDS, dan juga
pendidikan dan penyadaran akan isu-isu seputar permasalahan AIDS.
2 Desember: Hari Internasional untuk Penghapusan
Perbudakan yang merupakan hari diadopsinya Konvensi PBB mengenai Penindasan
terhadap orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain
(UN Convention for the Suppression of the traffic in persons and the
Exploitation of other) dalam resolusi Majelis Umum PBB No 317(IV) pada tahun
1949. Konvensi ini merupakan salah satu tonggak perjalanan dalam upaya
memberikan perlindungan bagi korban, terutama bagi kelompok rentan seperti
perempuan dan anak-anak, atas kejahatan perdagangan manusia.
3 Desember: Hari Internasional bagi Penyandang Cacat, merupakan peringatan lahirnya Program Aksi Sedunia bagi Penyandang
Cacat (The World Programme of Action concerning Disabled Persons). Program aksi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982 untuk meningkatkan pemahaman
publik akan isu mengenai penyandang cacat dan juga mambangkitkan kesadaran akan
manfaat yang dapat diperoleh, baik oleh masyarakat maupun penyandang cacat,
dengan mengintegrasikan keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
5 Desember: Hari Internasional bagi Sukarelawan. Pada
tahun 1985, PBB menetapkan tanggal 5 Desember sebagai Hari Internasional bagi
Sukarelawan. Pada peringatan ini, PBB mengajak organisasi-organisasi dan
negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan aktivitas bersama sebagai wujud
rasa terima kasih dan sekaligus penghargaan kepada orang-orang yang telah
memberikan kontribusi amat berarti bagi masyarakat dengan cara mengabdikan
hidupnya sebagai sukarelawan.
6 Desember: Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan
terhadap Perempuan. Di tanggal ini, tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di
Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya
(13 di antaranya perempuan) dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber
223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para
mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas
tersebut. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk
surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis dan juga daftar 19
perempuan terkemuka yang sangat dibencinya.
10 Desember: Hari HAM Internasional. Peringatan ini, bagi organisasi-organisasi di dunia merupakan perayaan ditetapkannya dokumen bersejarah, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948, dan sekaligus
merupakan momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detail
terkandung di dalam deklarasi tersebut
Tanggal 8 Desember kemarin, kami dari Komunitas SIWI yang juga tergabung dalam YSEALI Surabaya, mengadakan event yang menampilkan monolog dan dilanjutkan dengan diskusi ringan tentang pengalaman teman-teman dalam pendampingan serta mengamati sekitar (tanpa bicara teori berat ala ala aktivis senior yang 'sudah punya banyak ilmu').
Poster Monolog Perempuan dalam Kampanye 16 Hari Melawan Kekerasan Berbasis Gender |
Sebenarnya, tema perempuan bukan konco wingking itu gagasan dari Mas Suwodo, rekan kami di komunitas ini. Terdengar so yesterday, ya, temanya? Tapi realitanya, di tahun 2015, di mana kesetaraan gender sudah jadi gema di belahan dunia manapun, masih banyak kok, kekerasan berbasis gender yang ujung-ujungnya bermula dari anggapan bahwa perempuan adalah manusia kelas dua yang dianggap inferior dan lebih layak berada di belakang.
Ada 4 karakter perempuan di monolog ini, dan 1 karakter laki-laki.
Suwodo, berperan sebagai dirinya sendiri yang menceritakan kisah ibunya, yang bisa membesarkannya dengan baik meski karena kesibukannya mengurus rumah, sang ibu tidak bisa mengikuti program pemberantasan 3 buta (aksara, hitung, baca) di era Soeharto.
Natali, memerankan kisah nyata seorang temannya yang mendapat tindakan KDRT dari suaminya. Saya sempat mengenal sosoknya meski sekedar lewat foto dan cerita Natali. Ia cantik, masih seumuran kita. Namun terpaksa menikah muda sebab budaya sosial menuntutnya untuk menikah karena dia hamil. Sebenarnya, dia sudah mengalami kekerasan sejak pacaran. Dia sering dipukul, ditampar, dan dijambak. Itu masih kekerasan fisik saja, ya. Kalau kekerasan verbal, hampir setiap cekcok, ia mengalaminya. Kata-kata kasar, ancaman....Dan ia tidak bisa memutus hubungan karena harus menikah dengan laki-laki itu. Siklus kekerasanpun terus berlanjut sampai ia melahirkan seorang anak. Bahkan, ia sempat diancam suaminya dengan pisau yang sudah diposisikan di depan leher. Hanya karena ia marah sebab si suami selingkuh.
Kompleks? Terdengar seperti naskah sinetron? Bukan, ini adalah realita. Dan tak cuma satu. Ada banyak perempuan yang mengalami KDRT tapi mereka diam, tidak melawan, dan menyimpannya dalam sunyi di dalam rumah mereka.
Pesan yang ingin disampaikan dari monolog ini adalah Only Yourself Can Help You!
Cuma kamu, yang mengalami KDRT, yang bisa menyelamatkanmu untuk keluar dari kondisi ini. Sebab, kamulah yang memutuskan apakah kamu akan bertahan...atau melawan.
Ada banyak pihak yang bersedia dan punya kewajiban untuk bertanggungjawab atas tindakan KDRT yang dialami. Negara juga punya tanggungjawab dan kewajiban karena kebijakan sudah dibuat. Tapi, keputusan untuk bertahan atau melawan tetap ada pada 'korban'.
Sementara itu, dilematisnya, selalu ada banyak pertimbangan. Nama baik keluarga, kepentingan anak, ekonomi keluarga, dsb. Oleh karena itu, dukungan dari orang sekitar juga sangat bermakna untuk membantu korban berani bersuara. Setidaknya, jangan biarkan mereka sendirian. Jangan biarkan mereka.....sendirian!
Nita (saya sendiri) memerankan sosok
anak perempuan berusia 16 tahun yang menggendong anaknya sendiri. Kalau Mas Christian bilang, di foto tersebut, derita saya terasa. Ehehe.
Lewat peran ini, saya ingin menyuarakan kisah teman sekolah saya saat Sekolah Dasar. Namanya Kasiati, ia teman sebangku saya sejak kelas 3 sampai kelas 6 SD. Meski sekelas, ia lebih tua 2 tahun di atas saya. Jadi, selama tiga tahun itu, saya berangkat dan pulang sekolah selalu bareng. Kadang dia yang membonceng saya, kadang saya yang memboncengnya. Kemanapun, kami selalu berdua.
Kasiati tinggal dengan ibu dan kakak perempuannya. She was trapped by poverty condition. Kadangkala, kemiskinan adalah jalan buntu. Kondisi itu membuat orang sulit berpikir panjang dan segera menjadikan apa yang ada di depan mata sebagai jalan keluar, entah itu akan berakhir baik...atau buruk.
Saat saya melanjutkan sekolah menengah pertama, Kasiati berhenti sekolah satu tahun. Dia membantu ibunya bekerja di rumah. Kadang dia juga ngarit di sawah dekat rumah. Ketika saya bertemu dia sepulang sekolah, ada rasa enggan untuk menyapa karena perasaan saya campur aduk. Saya takut dia akan malu atau dia merasa marah karena saya sekolah dan dia tidak. Saat itu, saya benar-benar enggak tahu harus ngomong apa kalau ketemu dia.
Sampai akhrinya, saat saya naik ke kelas dua, ibu saya memberi kabar bahwa saya diundang Kasiati untuk datang ke pernikahannya.
Berdebar? Iya. Itu adalah pertama kalinya teman sebaya saya menikah. Dan itu teman sebangku saya...teman saya ke mana saja yang hampir setahun tidak pernah mengobrol lagi.
Sore itu saya datang dengan dua teman lain. Mereka tertawa karena mereka pikir ini lucu. "Kok wes nikah, yo? Haha", mereka bilang. Saya masih ingat, saat itu saya hampir menangis ketika menemuinya di dalam rumah. Ekspresinya kebingungan. Dia sedang didandani ala pengantin jawa, dan agak canggung rasanya melihat dia yang sangat tomboy dalam penampilan sedemikan itu. Saya semakin kaget ketika bertemu calon suaminya, yang jauh lebih tua dari kami semua. Dia...sekitar 30an tahun, di saat kami belum lebih dari 18 tahun.
Saya tidak pernah bertemu dia lagi setelah hari pernikahan itu sebab dia pindah ke Tulungagung. Minggu kemarin, saya dengar ibunya meninggal, dan saya belum sempat berziarah. Juga belum sempat bertemu dia.
Ada yang terus mengganjal di pikiran saya soal pernikahan paksa di bawah umur. Melihat ekspresi Kasiati saat hari pernikahannya itu, saya tahu, bukan dia yang menginginkan pernikahan itu. Dia kebingungan, dia juga tidak tahu apa yang mesti lakukan. Barangkali juga, dia terus bertanya dalam kecemasan sendirian, 'Adakah pilihan lainnya?'
Anak-anak memang tak punya inform concern. Belum bisa mengambil keputusan. Dan juga dianggap inferior sehingga dipaksa untuk menurut pada orangtua yang memperlakukan anaknya sebagai properti.
Banyakkah anak-anak perempuan yang dipaksa menikah di bawah umur di Indonesia? IYA!
1-6 girls in Indonesia is forced to marriage in underage. (Data KPAI, 2014)
44% dari anak-anak yang menikah di bawah umur mengalami KDRT. (Unicef)
Anak perempuan di bawah umur memiliki potensi meninggal 5x lebih besar saat melahirkan dibanding perempuan di usia dewasa (www.girlsnotbrides.org)
50% bayi yang lahir dari anak-anak di bawah umur hanya bertahan hingga usia 1 minggu. (www.girlsnotbrides.org)
Bagaimana ketika saya menjadi mereka?
Dalam monolog itu, saya mencoba menularkan rasa pada penonton betapa menyenangkannya saya ketika bisa bermain dan bersekolah dengan teman-teman seperti dulu. Saya tidak pernah merasa se-sendirian ini...Dan betapa ironis ketika teman-teman saya pergi ke sekolah untuk ujian nasional sementara saya hanya bisa menyemangati mereka dari depan rumah sambil menggendong seorang bayi.
Saya mencoba menggambarkan betapa ketakutannya saya sebagai anak perempuan ketika laki-laki asing yang jauh lebih tua datang ke rumah untuk menikahi saya. Bagaimana mengerikannya ketika malam pertama di hari pernikahan itu tiba. Betapa menakutkannya ketika laki-laki asing itu mulai menjamahi tubuh yang tidak pernah disentuh siapapun, kecuali ibu, sebelumnya. Bagaimana kesakitan itu dirasakan oleh saya ketika melakukan hubungan seksual, dan puncaknya adalah kemarahan ketika menggambarkan rasa sakit saat melahirkan bayi yang saya gendong itu.
Kemarahan saya karena tak bisa mendapat kesempatan yang sama sebagai anak-anak...kemarahan saya karena tak bisa pergi keluar karena harus mengurus anak, mengurus suami yang ditakuti.
Kemarahan saya pada bayi yang saya gendong. Baby blues? Bukan...Sebab anak-anak yang dipaksa menikah di bawah umur memang punya kecenderungan untuk membenci bayi yang dia lahirkan dan menularkan kekerasan. Oleh karena itu, seorang anak memang tak boleh diasuh oleh anak sebab sama-sama belum punya inform concern. Undang-undangnya ada...Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak, termasuk dalam kluster pengasuhan anak. Tapi....demi apapun, saya mengutuk undang-undang perkawinan Indonesia yang memperbolehkan anak usia 16 tahun untuk menikah. Undang-undang itu mengacau-balaukan banyak hal.
Pesan dari peran itu sebenarnya bukan menggurui. Saya berusaha mengajak penonton untuk merasakan...apa yang dirasakan oleh anak-anak yang dipaksa menikah di bawah umur (meski saya tak cukup mendalam saat meriset pengalaman rasa tersebut). Ada banyak potensi kekerasan dan hak yang tercerabut dari anak-anak dalam kondisi tersebut. Saya ingin mengajak lebih banyak orang untuk bisa lebih peka...dan do something ketika mereka bertemu kondisi ini di sekitar mereka.
Don't Marry Me, I Wanna School!
Peran ketiga adalah cerita tentang perempuan karir yang mendapat stigma perawan tua karena tak kunjung menikah. Karakter ini diperankan oleh Ripi. Pesan yang ingin disampaikan adalah Married or Not I'm A woman!
Peran terakhir ialah peran Pupi yang berhasil memukau penonton. Dia begitu menghayati peran sebagai anak korban seks komersial. Pupi mengajak penonton untuk melihat 'pelacur anak' dari perspektif lain. Sehingga, mereka tidak lagi mengorbankan korban...atau Victimize the victim.
Selama ini, ketika melihat anak-anak yang menjadi pekerja seks komersial, masyarakat cenderung memberi stigma negatif dan menarik diri untuk tidak lebih dekat dengan mereka. Padahal, ada banyak kisah di balik baju-baju yang mereka kenakan untuk 'bekerja'. Ada banyak kisah di balik pekerjaan itu.
Sebutan lonte, balon, perek, adalah bentuk kekerasan verbal yang sangat berdampak ke mental anak-anak pekerja seks komersial. Anak-anak ini bukan pelaku, mereka adalah korban. Dan seluruh stigma negatif yang mereka terima semakin membuat si anak tenggelam dalam lingkaran itu.
Mereka adalah korban? Iya. Mereka korban dari lingkungan yang tidak layak untuk tumbuh kembang. Mereka kobran dari pengasuhan yang tidak tepat. Mereka korban dari negara yang abai.
Sementara itu....anak-anak yang sudah menjadi sexual active di usia anak-anak cenderung menjadi sex addict. Sex is addictive, tapi bagaimana jika yang melakukan adalah anak-anak yang secara fisik dan mental belum berkembang dengan sempurna? Tentu saja mereka akan rentan dengan kehamilan di usia dini, penyakit menular seksual, eksploitasi seksual, dan trafficking.
Dan ketika orang-orang dewasa tak bisa menjadi sahabat mereka, atau justru membenci, menghakimi, memarahi, mencibir, dan menggurui...mereka akan terus ada di lingkaran itu.
Pesan yang ingin disampaikan pupi adalah...sayangilah anak-anak perempuan yang ada dalam kondisi ini. Rangkul mereka. Jangan hakimi, tapi kasihi. Daughter, I Love You!
Monolog perempuan yang dilanjutkan dengan diskusi ini sebenarnya ditayangkan secara live streaming di US Congen dan Live di SBO TV. Tapi, sayangnya, saat di dalam US Consulate General, kita enggak bisa share informasi ini karena seluruh alat elektronik dan komunikasi tidak bisa masuk. :D
Saya akan segera menambahkan link jika video acara tersebut sudah di upload.
#16HariKampanyeAntiKekerasanTerhadapPerempuan
Love and Respect!
"Perempuanku, genggam tanganku. Lalu menyusurlah, bersamaku. Jika suaramu, tak terdengar, ku kan berteriak...bersamamu."(Lirik lagu Dialog Dini Hari - Kita dan Dunia)
sampai sekarang masih banyak kekerasan yg terjadi yah
ReplyDeleteunited tractor tbk