Sembilan.

Bulan kesembilan di Surabaya.
Sebuah kota yang lambat laun mulai saya nikmati meski sesekali rindu ingin pulang, atau sekedar pergi ke tempat lain yang punya banyak lahan hutan, atau kebun, atau terutama: pantai.
Pantai, yang airnya tidak bau anyir berbaur dengan busuknya sampah kota. Sampah celana dalam, sampah kondom, sampah rumah tangga, sampah bekas organ dalam ikan yang dibedah setiap harinya, dan segala kotoran yang dibuang kembali oleh mereka yang tinggal di sepanjang tepian laut.
Pantai yang....bukan seperti Kenjeran, haha!

Bulan kesembilan di Surabaya.
Mengenali kota yang terdengar maju ini, dari sisi terburuknya. Menyusuri kehidupan pinggiran yang jauh dari hingar kemewahan gaya hidup kelas menengah atas, atau kelas menengah bawah yang berusaha hidup mewah meski dicekik tagihan kartu kredit sepanjang bulan. Mengenali banyak wajah bopeng yang berusaha dibedaki dengan pembangunan infrastruktur di berbagai sudut.

Gadis-gadis pinggiran kota yang terpaksa menikah di bawah usia 18 tahun; terjebak kehamilan di luar nikah, terjebak kemiskinan yang membuat mereka tak punya pilihan lain untuk menikah selepas sekolah, gadis-gadis pinggiran kota yang berakhir jadi buruh rumah tangga, buruh pabrik, buruh bangunan, buruh jahit pabrik sepatu yang eksploitatif, dan...terjebak jadi korban eksploitasi dan jual beli jasa seks.
Pemuda produktif yang terpaksa jadi pengedar obat-obatan terlarang selepas sekolah menengah kejuruan, sebab ia terjebak. Tak punya skill sebab sekolah menengah kejuruan yang ia habiskan selama tiga tahun punya kualitas buruk dan tak memberinya bekal apapun yang bisa membuatnya survive di tengah kemajuan zaman. Tidak bisa bersaing dengan pemuda lain dari lingkungan dan pendidikan yang lebih baik. Menghabiskan hari-hari dengan aktivitas yang tak jelas arahnya, dan sesekali merayakan kepenatannya atas jalan buntu dengan alkohol, dan obat-obatan yang ia edarkan dari kakak kandungnya,

Brengsek juga, ya, negara? Pura-pura sudah intelek dan beradab, tapi melupakan potret bopeng yang ia lahirkan sendiri.

Wajah-wajah kelas menengah bawah yang hidup di bawah bayang-bayang penggusuran di berbagai tempat. Di pinggiran kali, di pinggiran  pantai, di pinggiran bangunan-bangunan yang menghimpit, yang dibangun sedemikian sempurnanya untuk kelas menengah atas, dan dikebut dari hari ke hari.
Wajah-wajah mereka yang hidup dalam kemiskinan. Mengerahkan segala tenaga untuk pendapatan yang pas-pasan. Pas, diputar untuk kebutuhan sehari-hari. Pas, untuk disyukuri meski mereka mengaku was-was soal bagaimana rasanya memiliki kehidupan yang lain; semisal, bisa menyekolahkan anak-anak mereka seperti para orangtua yang sanggup membiayai anaknya belajar di perguruan tinggi.

Sembilan bulan, berlari dari cerita satu ke cerita yang lain.

Jujur saja, kepala saya mulai dipenuhi kegagapan. Tidak ada filter untuk hal-hal yang membuat perasaanmu campur aduk mendengarnya. Sialnya, yang seperti ini justru mematikan rasa saya sendiri. Lambat laun, segala yang saya temui berakhir dengan respon yang datar. Semacam: Oh, jadi gitu.
Persis, seperti yang dialami sahabat saya, Sela, yang sedang bertugas sebagai dokter muda di salah satu rumah sakit di Surabaya. Sepanjang hari dari tahun ke tahun, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghadapi orang-orang yang sedang berjalan menuju kematian. Melewati rentetan kabar duka habisnya nyawa yang berlalu seperti sebuah antrean. Ia kini sampai pada titik di mana kematian adalah hal yang biasa dan bukan lagi kabar duka. Kematian siapapun.

Saya cemas. Mungkinkah yang demikian justru bisa menggerus daya kita untuk memperjuangkan suatu yang perlu diperjuangkan, bersama-sama? Mematikan empati dan kepekaan kita pada suatu hal yang dianggap khalayak sebagai hal yang wajar, padahal sebenarnya perlu dibenahi?

Ah, sudahlah. Mari mengalir saja. Baru ingat, memangnya siapa, saya? Sok-sok cemas dengan segala kerumitan itu? Hahahaha. Toh, saya juga satu dari banyak orang yang menikmati segala fasilitas dari bangunan-bangunan yang dibuat sedemikian nyaman, lengkap, dan sempurnanya untuk memanjakan budaya konsumtif. Toh saya juga menikmati kemewahan itu. Hahaha, kaum-kaum penikmat tapi sok mengumpat seperti saya ini...entah mestinya dibuang ke mana.

Menikmati.
Meski pada hari lain, lagi-lagi saya mesti kembali pada realitas kehidupan sengit pinggiran.

Tapi, bukankah kehidupan memang kontradiksi yang disusun rapi?
Dijejalkanlah perbedaan situasi itu,
sebagai makanan kita sehari-hari.



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula