Tentang seorang gadis yang ada di ujung lubang keluar sebuah labirin

Tadi sore, teman kerja saya, Nusro, yang lebih saya anggap sebagai seorang adik, mendatangi saya di ruangan. Ia duduk di kursi sebelah saya dan membuat cekungan manis di pipinya. Nusro tersenyum sebelum bercerita.

"Mbak, aku mau cerita..." kata dia, sambil membenahi letak kacamatanya yang sebenarnya tak bergeser kemanapun. Ia baru hari itu memakai kacamata barunya di dalam kantor, canggung.
"Iya, Neng Nus. Kenapa? Kamu mau nikah juga?" saya menggoda.

Nusro tertawa menolak disebut ingin menikah. Tentu saja saya bangga. Dia sudah punya bayangan yang terang tentang bagaimana ia harus merajut hari-harinya untuk masa depan yang lebih baik. Setidaknya, ia tahu, menikah di usia belia bukanlah cita-cita yang bisa menyelamatkan hidupnya.

Nusro adalah gadis kegemaran saya di kantor. Ia masuk sebagai staf kesekretariatan bulan Agustus lalu. Etos kerjanya sangat bagus. Ia cekatan, jujur, dan semua hal berantakan terkait administratif di kantor disulap menjadi situasi yang rapi. Ia juga seperti katalog berjalan sekaligus google bagi kami. Ia tahu letak segala hal yang sedang kami butuhkan.

Bulan ini, karena etos kerjanya yang istimewa, ia diberi tanggungjawab yang lebih besar dari sekedar menata administrasi di kantor. Nusro kini menjadi seorang Community Organizer. Sebuah job desk yang bahkan saya belum mampu menjalankannya. Posisi yang menjadi salah satu tonggak gerakan di lembaga kami.

Saya bangga pada Nusro. Saya bersyukur dia ada pada hari-hari kami di kantor saat ini.

Usianya masih 18 tahun. Ia baru saja lulus dari sekolah menengah kejuruan tahun lalu. Tadinya, sekolah itu gratis, sebab ia tinggal di sebuah 'panti' selama sekolah. Namun, ketika ia memutuskan untuk keluar dari 'panti' itu di akhir kelulusan, ia harus melunasi biaya tunggakan SPP yang ternyata tak dibayarkan oleh panti tersebut.

Bulan September lalu, ia sempat bercerita pada kami tentang kehidupan di panti, tak jauh dari rumahnya. Ia tinggal di sana karena kedua orang tuanya meninggal. (Baru-baru ini saya memahami kalau ia memang tak begitu betah di rumah. Salah satu alasan mengapa ia rajin sekali datang pagi dan pulang malam dari kantor. Mungkin memang tak nyaman tinggal bersama saudara-saudaranya yang sudah berkeluarga, dalam satu rumah yang sama.)

Tentu saja saya juga ingin menulis di sini, mengapa mata saya basah saat pertamakalinya Nusro menceritakan apa yang dilakukan petugas panti pada dia dan anak-anak lainnya. Basah, dan mengenang bagaimana ia bercerita dengan tegar (seperti hal-hal itu bisa dengan mudah dimaafkan dan dimaklumi sebagai suatu yang wajar), membuat saya skeptis dengan panti-panti manapun yang menjamur di kampung-kampung, yang dibalut wajah religius. Mungkin suatu hari nanti saya akan menulis tentang panti-panti. Mungkin juga suatu hari sebelum saya menulisnya, panti-panti itu bisa jadi sudah ditutup karena ada satu dua telinga dan mata yang bangun. Saling membisiki untuk ramai-ramai mengemasi rumah eksploitasi.

Meninggalkan cerita menyebalkan tentang sebuah panti...bergeser pada ragam realitas sosial di lingkungan Nusro tinggal.

Nusro lahir dan besar di sebuah kampung yang halaman depannya adalah tambak. Kini tambak tersebut juga beberapa kali beralih funsgi menjadi tempat pembuangan sampah. Rumah-rumah di kampungnya berjajar dalam satu gang yang tak muat dilewati mobil. Jika sore tiba dan kita naik motor di gang itu, kita akan melewati beberapa ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak, dan beberapa kucing yang duduk di pinggiran, sekitar lima jengkal dari knalpot motor yang kita naiki.

Hampir semua tetangganya bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Dan beberapa tetangga adalah saudara dari saudaranya dari saudaranya dari saudaranya. Intinya, satu kampung itu, sebagain besar punya ikatan darah meski dalam struktur yang rumit.

Kakak ipar Nusro bekerja sebagai PRT di tiga rumah. Budenya bekerja sebagai PRT di tiga rumah. Ibu RT di kampungnya juga bekerja sebagai PRT. Masih banyak yang lainnya...

Beberapa kali saya ikut dalam obrolan sore bersama mereka, dari satu cerita ke cerita lainnya. Bagi mereka, menjadi PRT adalah suatu petualangan mengenal keluarga yang tadinya asing menjadi satu bagian hidup yang melekat dalam keseharian mereka. Bagi kakak ipar Nusro, punya pengguna jasa warga asing keturunan India adalah pengalaman yang berkesan. Bagaimana kendala bahasa dengan pengguna jasanya menjadi bahan lelucon yang asik bersama PRT lainnya. Ibu RT Nusro juga punya pengalaman yang membuatnya bisa bercerita dengan setengah tertawa terbahak-bahak. Ia mengenang bagaimana ia tak bisa menggunakan mesin cuci baru yang menurutnya terlalu canggih. Lainnya, seringkali bercerita tentang kebiasaan-kebiasaan lucu pengguna jasanya....

Profesi PRT sama sekali bukan sebuah masalah. Tapi poinnya memang bukan pada salah atau tidak.
Tumbuh kembang Nusro dikelilingi oleh keseharian para PRT. Percaya atau tidak, di kampung tersebut, jika ibu atau orang dewasa terdekatnya menjadi PRT, maka anaknya akan sangat rentan menjadi pekerja rumah tangga anak (PRTA).

Bude Nusro yang PRT, punya anak yang sempat bekerja sebagai PRTA selama ia sekolah, saat berusia 16 tahun. Jadi, setiap pagi dia merawat anak-anak, membersihkan rumah, dan mengerjakan tugas PRT, lalu siangnya, ia sekolah. Teman-teman Nusro juga banyak yang menjadi PRTA saat usia anak-anak dulu. Sekarang, kebanyakan mereka kerja di pabrik, warnet, pertokoan. Banyak juga yang terpaksa menikah di usia anak.

Tidak ada role model yang diidam-idamkan dalam kondisi yang lain sebagai referensi gambaran keinginan masa depan.

Nusro, dengan segala kecerdasan dan bakat yang ia punya, bahkan hampir saja bekerja di pabrik tempura setelah lulus. Sebuah tempat kerja yang direkomendasikan oleh kakak kandungnya. Tentu saja dengan jam kerja yang buruk dan gaji yang jauh dari kata logis.

Tidak banyak referensi bayangan masa depan pada sektor lain. Sebagian besar hanya punya gambaran sebagai PRT, buruh pabrik, atau pramuniaga.

Sekali lagi, saya bersyukur Nusro ada dalam hari-hari kami, di dalam kantor yang lebih nyaman disebut sanggar.

Nusro  baru saja bercerita bahwa ia hendak kuliah, dengan gaji yang ia tabung sedikit demi sedikit. Ia akan berjuang untuk masuk jurusan hukum tahun ini.

Saya tidak sabar untuk segera menemaninya berlatih mengerjakan soal-soal SNMPTN di sela-sela tugas lapangannya! :)

Dear Nusro, jika kamu membaca postingan ini, kamu harus tahu kalau saya sangat bangga dengan semangatmu yang tidak pernah redup dalam kondisi apapun.
Saya bersyukur kamu tidak berakhir di pabrik tempura.
Saya bersyukur kamu tidak bekerja di dapur rumah orang yang asing buatmu.
Saya bersyukur kamu belum menikah, menggendong anak di depan pintu rumah dengan rambut yang berantakan dan wajah yang tampak menua lebih cepat.

Saya terharu, Nusro.
Kamu seorang gadis yang ada di ujung lubang keluar sebuah labirin yang pengap.
Sebentar lagi, barangkali kamu bisa bernapas lebih lega.



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula