Merayakan Pesan dari Seorang Ibu yang Lain
"Kita tidak bisa mengubah dunia, tapi kita bisa memaksimalkan segala kebaikan. Situasi dan kondisi di Indonesia memang bikin frustasi. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan itu semua (bukan mengalah) dan melakukan yang terbaik, yang kita mampu."
Tengah malam kemarin, saya mengirim pesan panjang melalui Facebook ke akun Ibu Janty, seorang ibu yang lain, yang saya sayangi dan rindukan. Ia kini berada di Berlin setelah beberapa tahun sempat menjadi pendidik di Indonesia, menetap bersama suaminya di sana. Akhir tahun kemarin, kabar duka datang sebab calon bayi kecil di tubuh mungil Ibu Janty tidak bisa bertahan untuk terus berkembang. Ada kecemasan kala mendengarnya. Tapi juga perasaan lega sebab Ibu Janty adalah perempuan yang paling rasional, tegar, dan bisa menerima dengan baik hal-hal positif dari yang terburuk sekalipun.
Ada sederet pesan panjang dengan kata-kata yang gamblang dan emosional yang terkirim di kotak pesannya. Tentang banyak hal; kepalsuan, kemunafikan, kenaifan, dan segala cerita yang sedikit banyak begitu memuakkan. Tentang kebebasan yang dibenturkan pada prinsip-prinsip, logika dan sikap-sikap membosankan dari beberapa yang haus sesembahan. Tentang yang haus dipuja dengan segala kesempurnaan yang terus digemborkan dan membuat kepala penuh perasaan ingin segera pergi dari hidup-hidup yang angkuh.
Tentang satu frase yang terus berulang dalam bulan-bulan yang saya jalani: Kemanusiaan yang dibenturkan pada banyak kenaifan. Tak ada yang sempurna, tuan-tuan. Tapi betapa tidak nyaman perasaan kotor yang timbul; seolah terus menempel pada dinding tangan dan kepala sepanjang waktu. Tentang apa yang telah diserap dan diketahui dalam hari-hari yang telah dilalui. Tentang kesimpulan yang bukan lagi menerka-nerka sebab telah jelas di depan mata.
Ibu Janty satu-satunya yang bisa memahami dan menyimpan kata-kata yang selalu meluncur deras dan tak terarah, dari saya yang kerapkali datang padanya hanya pada saat-saat seperti ini.
Tak lama, iapun masih sudi meluangkan waktunya; membalas panjang.
Masukan-masukan yang diantar dari sudut pandangnya yang bijak, sangat berharga dan menenangkan.
Saya terus membacanya berkali-kali sampai malam tiba lagi.
Rasanya hangat, seperti sebuah pelukan.
Di dalam aktivitas yang konkret, saya ingin sekali memeluk Bu Janty erat, sebagaimana beliau ingin memeluk saya di saat saat seperti ini. Bukan sebab saya tak bisa meluapkannya pada ibu saya sendiri, ya.
Persoalan-persoalan selalu diterima dengan respon dan pemahaman yang berbeda oleh masing-masing orang.
Ibu saya merespon cerita saya sehari-hari sebagaimana seorang ibu yang barangkali tidak bisa memahami dunia baru anak-anaknya (yang telah dewasa) dalam tingkatan yang sama, namun ia begitu paham bagaimana membuat anaknya tahu bahwa ia tidak sendirian seumur hidupnya.
Bicara pada Ibu Janty, seorang ibu yang lain, selalu membuat saya lebih berani mengambil keputusan dan merawat sikap yang telah saya ambil.
Ia membiarkan saya belajar melihat sisi terang dari tempat paling gelap sekalipun. Tapi ia selalu mengingatkan, lagi-lagi soal; sikap dan keputusan.
"Memang semua penuh kepalsuan dan kemunafikan.
Idealisme kita diperkosa dan kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya.
Kita melarikan diri mencari pembenaran untuk apa yang kita lakukan.
Diam tidak lagi emas, diam tidak lagi strategi untuk menang.
Kita diam karena hanya itu yang bisa kita lakukan."
Ia bilang.
"Dulu aku selalu mencari celah. Menggunakan kesempatan untuk memaksimalkan perjuangan. Pada satu titik aku kemudian memilih untuk berhenti dan tidak menjadi apa-apa, dan berjuang di jalanku walaupun sendirian. Aku memulai hal baru yaitu menjadi pendidik."
Ibu Janty hampir persis seorang yang saya kagumi dan kenal dengan baik meski cuma empat bulan. Ia juga mengambil sebuah keputusan besar. Menolak prestis-prestis yang ditawarkan oleh kehidupan, dan membangun mimpi-mimpi sederhananya untuk manusia lain, sendirian. Ia masih berjuang di jalan itu hingga saat ini.
Saya juga akan segera membuat keputusan besar. Saya sudah paham dengan jelas apa yang ingin saya perjuangkan selama hidup. Tentu saja tidak perlu gembar-gembor soal jasa-jasa di bidang kemanusiaan; dengan cara yang memuakkan.
Saya ingin hidup seperti Ibu Janty, seperti bapak saya, seperti ibu saya, seperti mereka yang saya temui dalam perjalanan hidup, dan saya kagumi dedikasinya yang berharga dalam kerendahan hati.
Hari ini, saya merayakan pesan dari seorang ibu yang lain,
yang membuka kembali serabut jalan buntu di dalam kepala.
Menghirup udara segar di taman tengah kota bersama orang-orang yang saya temui dalam perjalanan hidup saya di tahun ini.
Menyenangkan, mengenal mereka.
Saya ingin menikmati hari-hari sebelum waktu itu tiba, dengan cara seperti ini.
nice banget makasih yah
ReplyDeleteharga komatsu