Perjalanan Pulang
Hujan menderas sejak siang, Sabtu lusa kemarin, ketika aku
memutuskan hendak pulang ke rumah.
Mulanya, jika bisa bangun pagi, aku ingin
membeli beberapa benih sayuran, buku, dan alat bertanam hidroponik di toko
Trubus Surabaya. Bacaan-bacaan dalam buku itu agar bisa dipraktekkan langsung
oleh ibu di rumah. Beliau beberapa kali meneleponku dan menceritakan
keinginannya untuk bertanam, selain bunga.
Sayangnya, aku bangun kesiangan akibat
'diskusi terbatas' di sebuah kedai kopi hingga larut pada Jum'at malam. Seorang
teman baik mengantarku pulang dan kami masih mengobrol banyak di dalam perjalanan.
Suaminya yang mengemudi, terus menawarkan topik-topik baru untuk kami bahas. 30
menit kami habis untuk lanjutan percakapan yang lumayan berat. Mulai dari
agama, kehidupan mereka saat di Australia, hingga keinginan mereka untuk punya
usaha peternakan di desaku.
Seperti setengah mabuk, aku terkekeh
sambil membuka gembok pagar. Mereka baru memacu mobil ketika aku membuka pintu
rumah dan melambaikan tangan.
Sabtu siang menjelang sore.
Hujan semakin deras. Kuputuskan menelepon
Joy, jasa travel langganan. Mulanya aku ingin naik bis sebab agak rindu dengan
suasana desak-desakan dan hiruk-pikuk dalam kendaraan umum itu. Tapi kondisi
badanku kurang baik. Cuaca juga akan sedikit merepotkan untuk naik gojek menuju
terminal dan berjalan ke arah pos-pos bis sambil menungguinya datang.
Pukul tiga sore, sebuah nomor tak dikenal
meneleponku. Suaranya nyaring dan bersemangat, memberitahukan bahwa posisinya
sudah dekat, tapi tak bisa masuk sebab terhalang portal. Isuzu elf microbus
tingginya memang melebihi portal di gang perumahan lokasi aku berada. Aku lalu
diantar seorang teman yang kebetulan bersamaku saat itu.
Aku tengah berada dalam percakapan yang
santai dengan lelaki paruh baya yang mengemudi di sampingku. Entahlah, aku selalu enggan
menanyakan nama orang-orang asing yang kutemui, meskipun akhirnya kami mulai
akrab melalui ragam obrolan yang mengalir.
Ia menanyakan kesibukanku di Surabaya. Mulanya santai, namun lambat laun, ketika ia lebih banyak bercertia, obrolan itu mendadak membuatku menahan rasa ingin
menangis, yang menyiksa bagian tenggorokanku dalam beberapa menit.
Tentu saja ia sama sekali tidak
membicarakan penderitaan dalam hidup.
Dengan bangga, ia menceritakan anaknya
yang baru lulus bulan Mei lalu, di kampus yang sama denganku. Kurang lebih
usianya sama denganku. Ia berapi-api dengan wajah sumringah khas seorang bapak
yang merasa lega melihat anaknya berhasil, menceritakan betapa tinggi nominal
gaji yang diterima anaknya, sekaligus fasilitas mobil dan rumah yang bisa ia pakai selama bekerja di sebuah perusahaan rokok tempatnya memulai karir.
“Bayangkan, Mbak. Tadinya enggak pernah pegang uang, biasanya
masih minta ibu. Sekarang sudah seperti itu. Seneng saya. Ini bulan tujuh mau
menikah. Ya, sama anak tetangga. Alhamdulillah, kok, jalan hidupnya enak. Dulu kuliah
selalu pakai beasiswa.”
Di samping itu, ia juga bangga menceritakan aktivitas anaknya di
kampus dulu. Ia yang bangga dengan status ketua himpunan yang dijabat anaknya
kala masih mahasiswa. Keterlibatan anaknya dalam proyek dosen-dosen dan bantuan
hukum untuk masyarakat.
Tentu saja ia mengingatku pada bapakku sendiri.
Kerinduan itu
muncul, diselingi hujan yang embunnya menutupi kaca jadi samar-samar. Diselingi
radio yang frekuensinya terusik hingga terdengar sepotong lagu yang tersendat-sendat.
Tentu saja ia membuatku ingin mendengar bapakku bercerita tentang
perjuangannya membesarkan anak-anaknya, dan bagaimana anaknya tengah tumbuh
dewasa saat ini.
Tentu saja ia membuatku ingin memeluk bapakku erat.
Tentu saja ia membuatku ingin bapakku hidup kembali.
Tentu saja aku sempat melamun dan bapakku benar-benar hidup lagi
dalam lamunan sekian menit itu.
Lamunan itu terhenti ketika air mulai menetes lewat celah kaca yang terbuka sedikit karena
lututku menyenggol kaitan pembukanya.
Ya, tentu saja bapakku tidak bisa hidup lagi untuk bicara pada banyak
orang tentang kami, anak-anaknya.
Tapi ia terus hidup di kepalaku, bicara dari hati ke hati, dan
kadangkala, ia bisa menenangkanku di saat-saat aku cemas.
Percakapan kami terhenti saat aku mulai mengeluarkan buku terbitan
pindai yang baru kubeli, membaca kembali halaman yang kutandai dengan kertas
pembatas. Ia juga mulai sibuk menggerutu atas macet yang panjang dari Jemursari hingga
Ahmad Yani. Dua jam kami hampir habis hanya untuk mencapai bundaran Waru. Jika
ditotal, keberangkatanku pukul 15.00 dan sampai di rumah pukul 22.00 WIB adalah 7 jam
perjalanan, yang jika ditempuh dengan motor mioku, cuma butuh waktu 3 jam saja.
Macet adalah hal yang mulai lumrah bagiku, apalagi akhir minggu. Perjalanan sabtu sore memang riskan. Dan seperti yang sudah kuduga, aku bisa menjamur di atas kursi jika tak membawa sesuatu yang bisa membutku sibuk malam itu.
Mobil-mobil mengantri di jalan untuk sampai di tempat
tujuan berlibur.
Klakson ribut setiap kali lampu merah berganti kuning. Berebut
ingin segera melaju kembali.
Di tengah kemacetan, truk-truk besar melaju pelan.
Segerombolan anak-anak berkaos hitam, melompat dari mobil box
terbuka, berlarian di sela-sela kendaraan yang berjalan merayap, lalu naik ke
truk yang lebih besar lewat sisi-sisi yang bisa dipanjat.
Aku tersenyum geli. Merasa kalah dengan nyali besar mereka
bersenang-senang di tengah jalanan yang kurang menyenangkan. Berpindah dari
satu truk ke truk lain. Sesekali di mobil box terbuka sambil memulai percakapan
dengan pengemudi mobil di sebelahnya, saat lampu merah. Meminta rokok, meminta
minyak penghangat, meminta uang tanpa memaksa, dan bergurau dengan ekspresi yang tak dibuat-buat agar tampak bahagia.
Kebebasan yang lahir di bawah hujan.
Sesekali mereka sengaja melompat pada lubang jalan yang berisi
kubangan air. Sepatu serupa pantofel mereka memercikkan air ke berbagai arah. Sambil riuh dalam tawa, mereka sibuk mengusapi wajah yang basah.
Aku kembali ke halaman buku yang belum kututup, berencana melanjutkan
membaca, Tapi cahaya lampu mulai redup dan berjangka di pinggiran jalan. Aku
memasukkannya ke dalam tas. Untuk membunuh kebosanan sebab sudah masuk daerah persawahan yang
gelap, aku memainkan game Onex di tablet. Sungguh random sekali.
Ibuku sudah menunggu di depan kantor pegadaian. Wates sangat sepi sekalipun
itu malam minggu. Apalagi, jika sudah di atas jam 9 malam. Pertokoan tutup.
Becak dan ojek pulang ke rumah. Hanya ada segerombolan anak-anak muda di
pinggiran jalan dengan motor-motornya yang berisik. Dan tentu saja, tak
ada helm di situ.
Aku pulang dibonceng ibuku. Hangat sekali memeluknya dari
belakang.
Sesampainya di rumah, ibu menyuruhku makan malam dengan nasi goreng
yang hampir dingin.
Gas di rumah habis, aku yang semula ingin membuat indomie rebus
terpaksa mengurungkan niat.
Aku langsung tidur setelah membersihkan gigi dan mukaku.
Perjalanan pulang yang melelahkan.
Keesokan harinya, aku masih bangun kesiangan.
Ibuku sudah membelikan kami bungkusan nasi pecel dan membuatkanku jeruk
peras hangat.
Aku masih tak enak badan. Ibu memijit badanku. Ia lalu memegangi
bagian pahaku yang membesar. Ia keheranan. Lalu memintaku mengurangi porsi
makan dan waktu tidur.
Tumben sekali, ibu menyuruhku diet. Ini baru terjadi sepanjang hidupku.
Ajaib sekali…
Setelah berdebat soal badanku yang menurut mereka semakin tak
beraturan itu, kami (aku, ibu, dan adikku) berkemas pergi ke desa sebelah. Duwet, desa masa kecil
kami. Desa kelahiran bapak kami dan tempat beliau beristrirahat setelah
perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan.
Sudah lama tidak ke makam bapak. Bahkan saat hari ulang tahunnya
tiba, aku tak bisa pulang. Kemarin, kami berada di sana cukup lama. Berdoa
untuknya dalam jarak yang terdekat dengan jasadnya.
Aku membeli sekantung penuh bunga mawar. Sekantung lagi, kubeli
bunga mawar yang dicampur bunga kenanga.
Yang aku suka dari berkunjung ke makam bapak adalah membersihkan
pusaranya, menyirami tanah pemakaman, dan menaburkan bunga mawar
sebanyak-banyaknya di makamnya sebelum kami pulang. Makam bapakku tak dikijing. Aku memang tidak berniat mengijingnya sebab semasa hidupnya, bapakku adalah orang yang sederhana dan tak pernah egois. Lahan pemakaman semakin sempit. Mengijing akan mengurangi lahan untuk berbagi makam. Makam-makam yang dikijing di desaku memang tampak mewah. Tapi bapakku tak menyukainya. Bunga mawar yang kutaburkan itu, memudahkanku menandai makam bapakku saat aku berjalan menjauh ke arah gerbang pemakaman. Jika hendak berpamitan, aku masih bisa menandai makam bapakku dari kejauhan. Sambil mencuci kaki dan tangan di ujung gerbang, aku biasanya menoleh ke arah pusaranya lagi. Sebuah pusara yang diselimuti kelopak mawar.
Dimulai dari ziarah yang kemarin, aku kini punya kegemaran baru.
Aku membeli sekantung besar bunga mawar, kutaburkan ke makam bapakku dan kakak
perempuanku, eyangku, omku, dan sisanya, kutaburkan pada makam-makam di sekitar
bapakku dan makam yang terlihat tak pernah dikunjungi. Kubersihkan
ranting-ranting yang berserakan di makam-makam itu, kutaburkan bunga mawar,
sambil kukirimkan doa untuk mereka yang tak kukenal namanya.
Tidak ada alasan apapun. Mulanya, aku hanya ingin menghabiskan
sekantung mawar yang tersisa. Tapi sepertinya, aku akan melakukannya lagi pada
ziarah berikutnya.
Sepulang dari ziarah, notifikasi di ponselku membabibuta. Notifikasi yang menumpuk sejak hari Sabtu pagi. Aku
malas membukanya satu persatu. Kubiarkan sampai moodku muncul untuk memilah
respon.
Hari ini aku sedang cuti.
Badanku seperti baru dibanting.
Moodku belum juga muncul untuk merespon notifikasi di ponsel.
Mungkin baru akan kubalas besok.
Postingan ini sebenarnya kutulis untuk memancing mood menulisku
untuk hal yang lebih serius.
Tentu saja aku ingin menulis yang lebih serius.
Ya…hanya saja, masalahnya...
monster terbesar dalam kehidupanku aadalah mood.
Semua tergantung mood…
Perjalanan pulang kemarin, mungkin saja tidak kualami, jika aku memutuskan untuk tetap tinggal di kamar kosku karena tidak ada mood untuk keluar.
Tapi rupanya, kerinduan pada ibu punya kekuatan yang lebih besar dari segalanya.
isi blognya bagus bagus sekali kak
ReplyDeletekomatsu pc200-8