Bahagia itu tidak semu. Ketidakbahagiaan itu yang semu.

Karena belum sempat membaca buku hingga tuntas, saya akan mengisi blog ini dengan beberapa moment yang sempat terlewatkan untuk diposting. Memang tidak penting, tapi sepertinya saya juga perlu membantu meringankan kerja ingatan.

Tidak terasa, sudah  hampir dua bulan saya kembali menetap di Malang. Sungguh, rasanya seperti mimpi berada di kota ini lagi. Entah perasaan saya bagaimana, sulit mendefinisikannya.

Saat ini, saya menempati sebuah rumah kos di daerah yang belum pernah saya tinggali. Jalan Bunga Andong, daerah belakang apartemen Soekarno Hatta yang dulu sekali saya selalu tak suka pergi ke sini. Ibu Janty, mantan dosen kesayangan saya pernah kos tepat di samping kos baru saya. Dulu, saya selalu cemas saat mengantarnya malam-malam sepulang minum kopi. Jalan menuju ke sana, melewati beberapa lahan kosong yang agak ngeri di malam hari. Tapi itu tahun lalu. Sekarang, hanya ada 1 lahan kosong. Sisanya, sudah mulai ditumbuhi bangunan. Malam-malam tidak lagi ngeri sebab sepi. Tapi ngeri sebab saya merasa tidak pulang ke suatu tempat yang menggembirakan.

Tahun-tahun lalu dan sekarang memang berbeda dalam berbagai hal.
Malang semakin macet, panas dan tidak sedingin dulu.

Malang sekarang macet. Bahkan gang-gang kecil juga padat merayap. Sumber: Twitter, sebuah akun yang lupa namanya.
Tidak sedingin dulu. Panasnya menyengat, seperti Surabaya. Bahkan, di Cangar, yang dulu saya kedinginan saat pergi ke sana semester satu, kemarin panasnya juga menyengat.

Tak hanya soal cuaca dan kemacetan, hari-hari di Malang juga berubah total. Sebab tak ada mereka yang dulu mencipta banyak kenangan. Selama dua bulan ini, saya seperti seonggok zombie yang mati rasa. Sekali lagi, perjalanan pulang ke kos adalah perjalanan tanpa nyawa. Tidak ada gairah, tidak ada semangat. Rutinitas saya hanya mencuci muka, mencuci kaki, membaca, lalu tertidur.

Teman-teman baik saya sudah pulang kepada tujuannya masing-masing. Kami terpisah oleh berbagai kota. Pun yang masih tinggal di Malang, kesibukan kami berbeda. Mereka yang masih tinggal di kota ini sedang sibuk menyelesaikan skripsi. Sedangkan saya, masih sibuk berguru menulis. Lahan kami berbeda, waktu yang kami miliki berbeda, tujuan kami meski sama-sama belajar, kami berada di ruang belajar yang berbeda.

Pernah suatu hari kemarin saya terus menerus pulang pagi. Hanya untuk menjaga rutinitas minum kopi sambil mengobrol sampai berbusa. Soal apapun. Saya mencoba mengikuti ritme yang pernah saya miliki tahun kemarin. Rutinitas itu benar-benar tidak cocok untuk saya sekarang. Pekerjaan saya terlantar. Tulisan saya tidak maksimal. Saya tidak sempat membaca buku. Tidak fokus bekerja dan mengantuk sepanjang hari. Lusa kemarin, saya memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan itu. Kemudian...saya kembali hilang koneksi dengan apa yang sesungguhnya bisa membuat saya merasa segar kembali; berkumpul dengan mereka.

Sepi sekali kehidupan saya akhir-akhir ini.
Saya makan sendirian, belanja sendirian, pergi kemanapun sendirian.
Saya memang bertekad ingin mandiri, tapi perubahan situasi ini rasanya sangat drastis.
Saya tak pernah mengalami ini, sebelumnya. Selalu ada Vifi, ada yang lain. Yang jelas, selalu ada yang menemani melewati hari-hari di tempat yang bukan rumah sendiri ini. Sekarang..........saya benar-benar sendirian.

Weeeeeellllll, tapi setidaknya pertengahan tahun ini memang luar biasa sekali. Banyak hal baru yang terjadi di luar ekspektasi saya. Saya yakin, kesendirian, tanpa teman, dan hari-hari yang begitu lesu itu akan segera berakhir dan lama-lama juga akan membuat saya jauh lebih kuat. Saya cuma perlu menemukan kuncinya.

Oh ya, untuk menghibur hari-hari yang kurang bergairah itu, saya akan mencoba mengingat kembali moment-moment menyenangkan yang terjadi dalam waktu dekat kemarin...

Pertama, soal pernikahan teman tersayang saya, dr. Beatrix Rosella Ajani, semuanya berjalan penuh sukacita. Saya, Vifi, Duti, Nyoman dan Nesti semuanya bisa datang. Dari Malang, Yogya, Bogor dan Jakarta. Kami tidur di satu atap yang sama, akhirnya! Betapa menyenangkan pagi itu, kami bangun dan mempersiapkan segala kostum, make up dan kado-kado untuk Sella. Tentu saja, saya yang tak suka dan belum bisa berdandan, hanya menunggu tangan-tangan mereka sampai di wajah saya.


Hasil tangan duti, vifi, inyo dan nesti. Setidaknya lebih rapi dari kebiasaan saya yang gembel. Semua kerapian ini saya persembahkan untuk sella dan anas. :)
Taraaaaaaa! Pengantin pertama genggong. Cantik!


Selfie First! :)

Cantik ya, dekornya!

SAAAAAAAH! Favorite Couple aku sudah sah!


Mau foto aja mesti dengerin duti orasi dulu, men...

.

The last photo: Foto bareng idola genggong di photobothnya sela yang unyu. Sadaaaaam! Kyakyakya.

Setelah kehebohan itu berakhir, saya kembali ke rutinitas kerja. Saat itu, saya masih di Malang Times. Suatu hari yang lain, saya mendapat tugas untuk meliput Festival Topeng Panji Internasional seharian penuh. Sejak pukul 09.00 hingga 22.00. Tak disangka, di tugas liputan yang seharusnya dipegang oleh wartawan areal kabupaten itu, saya bertemu Asief, wartawan pertama yang saya kenal di lapangan saat pertamakali meliput. Daaaaan, mbak Rieke Dyah Pitaloka. Priceless...




Ngomong-ngomong soal Asief, hari ini dia resmi resign dari Malang Express. Tadi malam kami sempat mengobrol panjang lebar soal pilihan. Saat ia bilang ingin resign, saya mendukungnya sekali. Sebab, saya tahu, betapa tidak membahagiakan bekerja di media harian umum lokal. Saya bilang padanya untuk memberi jeda pada dirinya sendiri, ke mana ia harus melaju. Sebab, Asiefpun masih ragu, ia hendak menjadi apa. Semoga segera mendapat pekerjaan baru yang menggembirakan, bro!


Saya juga sudah resign dari Malang Times. Saat ini, saya memutuskan untuk menepi dan menjadi konco tani. :), begitu sebutan pemimpin redaksi saya untuk kami. Dan inilah orang-orang yang saya temui pertamakali di tugas lapangan saya yang pertama.

Para Petani Penggarap Panen Tebu di Bululawang. Mereka merupakan petani sayuran asal Wajak.
Kemudiaaaaaan: MALAMNYA SAYA NONTON PAYUNG TEDUHHHHHH! Gimana enggak bahagiaaaaa?


Terakhir Payung Teduh ke Malang, saya, Rehza, dan Bian harus berdesak-desakan hingga mengantri agar bisa masuk lewat pintu belakang di sebuah parkir hotel sebelah MX. Dramatisnya, saat itu Rehza dan Bian bisa masuk ke dalam, sementara saya tertinggal tepat di depan pintu. Akhirnya mereka keluar lagi dan kami pulang dengan perasaan resah hahaha.


Di Flotus Festival, saya nonton  dengan Mas Tito. Seorang teman yang mengapresiasi tulisan-tulisan galau saya di tumblr. Bahkan, karena saya tak menulis lagi di sana, ia mencari-cari hingga menemukan blog baru ini, hahaha. Saya patut berterimakasih kepada Mas Tito yang berangkat dari Surabaya ke Malang hanya demi nonton ini. Saya masih punya hutang sepiring nasi yang seharusnya ditukar dengan semangkuk angsle. Apa boleh buat, saya masih belum bisa membayarnya karena repot sekali dan belum bertemu waktu yang tepat. (Bahkan saat repotpun sebenarnya saya masih sempat main sampai pagi. :p )
Bang Is, dengan pesona rambut dan pita suaranya. Lagu pertama yang dinyanyikan adalah lagu kesukaan Rehza. "Berdua Saja."
Hmmmm, apalagi ya, yang berharga? Oh, yes. Setelah hampir dua bulan di Malang, akhirnya saya bertemu idola sepanjang masa yang saya cintai lagu-lagunya, suaranya, tulisan-tulisannya dan caranya menggosip yang selalu berkualitas. Ia, Winda Carmelita, seorang teman yang sama-sama menyukai sastra. Kini, ia sudah menjadi manajer divisi media sosial di Kapanlagi. Saat 'ngopi cantik', istilah yang dibuat oleh Winda, kami bicara soal pekerjaan, jodoh, laki-laki, relasi, lalu kembali ke permasalahan yang lebih krusial dari itu: karir. Menyenangkan bisa memiliki teman yang mencerahkan seperti Winda. Ia salah satu perempuan favorit saya dengan segala talenta yang ia punyai.

Manja-manjaan sama Winda di Kedai Kopi. :)))
Daaan satu lagi! Keponakan saya, di Kota Batu sudah besar. Kakak Sepupu saya, yang semula tinggal di Surabaya kini sudah menetap di Malang. Ia tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana di dekat Selecta. Ia baru menikah dua tahun yang lalu. Setiap kali saya mampir ke rumah kontrakannya, saya selalu mencoba meresapi apa yang sedang ia rasakan. Berpindah dari rumahnya yang nyaman bersama kedua orangtuanya, lalu menetap di suatu tempat yang asing, di sebuah rumah yang lantainya dingin dan cat dindingnya mulai mengelupas.

Tebakan saya, tepat! Seorang ibu, dengan menggendong anaknya yang lucu dan hidup dalam damai dengan seorang suami yang selalu bekerja keras dan menyayangi ia dan anaknya, sudah lebih dari cukup. Ia tak menuntut lagi kehidupannya di masa lampau yang serba bisa membeli apapun. Ia masih bisa membuat teh rasa mint dengan merendam daun mint yang ditanam di depan rumahnya ke dalam cangkir, tanpa perlu pergi ke kafe. Ia bisa memasak apapun menjadi enak, dengan sayuran. Tanpa perlu pergi ke hoka-hoka bento lagi. Tanpa harus jajan di luar.

Sesekali suaminya pulang membawa sekotak burger. Saat saya menginap di sana, saya bisa menikmati kesederhanaan itu. Bahwa, tidak perlu mewah untuk bahagia. Kakak sepupu saya memulai semuanya dari nol. Berkunjung ke sana, buat saya, adalah moment berharga yang menambah sudut pandang saya soal hal-hal baru tentang memulai dari dasar.

Bersama Auni.

Suatu pagi yang dibuka dengan mengecup kening Auni.

Baiklah, dan postingan rasa campur ini akan saya akhiri dengan kencan pertama saya setelah berpisah dengan Vifi. Saat itu Idul Adha, saya pulang ke rumah sebab ia juga sedang pulang ke rumah. Vifi, ohhhh Vifi. Saya selalu rindu Vifi. Dia bilang, dia akan ke Malang November nanti. Dia akan memarahi saya sebab beberapa keteledoran yang saya ceritakan padanya. Dia bilang begini: "Kayaknya nanti pas di Malang aku perlu marahin kamu, deh!" Hahaha. Asik, marahin aku, dong, Vi, marahin.

Satu hal yang paling saya rindukan dari Vifi adalah omelan-omelannya yang berharga. Kalau tidak karena Vifi yang rajin mengomeli saya, mungkin sekarang saya belum juga lulus kuliah. :)

Vifi yang sedang gemar berdanan. Partner kesayangannya Nita
Hoooo, sudah cukup posting enggak jelasnya. Dengan mengingat-ingat secara runtun begini, saya jadi lebih merasa lega. Ternyata hidup saya masih bahagiaaaaaaa ehehehe.

Nita,
Di rumah.

Sedang menunggu adik bangun dari kubangan mimpinya untuk mengantar saya pergi ke sawah.
Ke sawah? Iyalah, Sawah adalah rumah ketiga saya sekarang!




Comments

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula