Sebuah petuah untuk memulai sesuatu dengan cara yang benar
“Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. -Steve Jobs-
Setelah menuruti sebuah petuah untuk membiarkan segala sesuatu mengalir seperti air, saya yang sekian lama mengapung di tengah ketidakpastian arus, akhirnya tiba pada tepian yang sejuk dan menggembirakan.
Sejauh kelulusan saya pada Februari lalu, saya tak pernah mengirim lamaran pekerjaan kecuali ke media Tempo. Saya tak pernah berupaya mengirimkan lamaran kemanapun lagi setelah itu. Sekalipun saya juga tak kunjung mendapat panggilan dari media yang di masa kuliah selalu saya puja-puja itu.
Kemudian, lima bulan setelah menganggur dan memutuskan untuk belajar bahasa asing, tiba-tiba saja saya terdampar di Malang Times. Sebuah media online mainstream pertama di Malang. Selama bekerja disana, saya sempat mencuri kesempatan untuk mengikuti seleksi Transmedia. Dengan lugunya saya memilih detikcom sebagai pelarian saya.
Lucunya, sehari setelah tes itu, saya mulai merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa bekerja di media online mainstream dengan tipikal beban kerja berdasarkan target waktu dan banyak berita dalam satu hari. Saat itu, saya berjanji dalam hati, sekalipun jika mendapat panggilan di detikcom, saya tak akan pernah kembali mengambil pekerjaan pada berita harian umum media online.
Target berita 15 sehari dan kaidah penulisan dari pimred yang kurang sesuai dengan prinsip saya, memang satu hal yang paling membuat saya tertekan dan kehilangan nafsu makan.
Alasan lain, saya selalu menyimpan sendiri rasa keberatan karena tak bisa menulis dengan sukacita dan menguaraikan sebuah narasi dengan gembira. Saya yang hobi mencari data dan melakukan verifikasi juga kurang terakomodir dengan tuntutan berita peristiwa yang harus segera diposting saat itu juga.
Kendati pengalaman bekerja di berita harian online terasa kecut, saya mendapat banyak pelajaran berharga dari sana. Saya bertemu sosok-sosok teladan dan juga mereka yang baik. Pak Anwar, ex-wartawan senior yang kini menjadi founder Malang Times begitu ramah menyemangati saya, betapa mudah menjadi wartawan online. Ia dengan gesit memberi tips agar saya bisa produktif menghasilkan banyak berita.
Pak Yasin, mantan pimred Malang Times juga seorang yang baik. Saya agak merasa bersalah karena memakasa untuk resign dan ia keberatan. Terlebih, saya bilang padanya akan lanjut belajar. Tapi.... bukan bohong secara keseluruhan, sih. Saya memang berencana untuk melanjutkan studi, sesuai mandat bapak. Tapi, sambil mempersiapkan itu, saya masih ingin belajar di tempat kerja baru saya dulu.
Swaratani, sebuah media untuk pertanian Indonesia. Saya masuk tepat saat momentum hari tani nasional ke-54, Rabu, 24 September 2014. Hari itu, saya menulis satu artikel tentang sejarah hari tani nasional dalam waktu tujuh jam. Memalukan... Hahaha. Tapi, hari itu juga, pertamakalinya karena rasa malu yang teramat sangat, saya justru tertantang untuk memberikan hasil yang lebih baik lagi.
Di bawah bimbingan Mas Fajar Riadi, penggagas sekaligus pimpinan redaksi swaratani, saya menemukan sebuah ruang belajar yang tidak hanya belajar seputar jurnalistik dan pertanian, tapi juga banyak hal di luar itu. Terutama soal, sudut pandang dan kebiasaan.
Saat itu, suatu percakapan tentang menggali data dan narasumber merubah pola pikir saya soal sebuah metode.
Saya: "Ada sih yang bisa ngasih data, tapi bukan dari orang resmi perusahaan. Dia orang dalam, tapi tau soal itu"
Mas Fajar : "Janganlah. Enggak valid kalau bukan dari sumber yang berwenang ngasih statement. Aku nggak suka kalau pakai sumber-sumber anonim gitu. Kalau mau memulai sesuatu yang baik itu harus pake cara bener sekalian"
Memulai dengan cara yang benar. Kalimat itu dengan saktinya merubah sudut pandang saya yang selama ini begitu tak jernih sebab terlalu terbiasa dengan hal-hal praktis. Saya yang kerapkali tak melakukan verifikasi data, jadi lebih berhati-hati dan membiasakan diri untuk menyajikan data yang benar setiap kali membuat tulisan. Saya juga lebih kritis untuk menggali jawaban-jawaban dari narasumber bila statement mereka masih ambigu.
Ia, di tengah kesibukannya, masih bersedia menjelaskan dengan sabar hal-hal sepele secara detail kepada saya yang begitu awam dengan istilah dan kerja sektor pertanian.
Yang terpenting dari semua itu, ia selalu menghargai proses saya untuk belajar. Karena itulah, saya selalu bersemangat untuk memberikan yang terbaik. Bukan dalam kondisi tertekan, tapi dalam kondisi sukacita.
Saya menyadari, adaptasi untuk memahami bidang pertanian secara penuh begitu sulitnya. Belajar mengenai hukum agraria, sejarah pertanian Indonesia, regulasi kebijakan terkait pertanian dan perdagangan komoditasnya, nama-nama pupuk, mekanisme tanam, istilah-istilah proses produksi komoditas, rendemen, istilah pengeringan lahan, istilah-istilah rehabilitasi komoditas perkebunan yang berbeda-beda, alih lahan, tata niaga gula, harga sayur, varietas tanaman pertanian dan karakteristik lahan dan sebagainya.
Tapi lagi-lagi, saya belajar untuk memahami semua itu satu persatu dengan sukacita.
Sejauh ini, saya sedang memulai untuk belajar mengenal kehidupan petani dan sekitarnya.
Apa yang saya dapati dalam masa kerja yang memasuki dua minggu ini adalah realita petani tebu yang terus merugi selama dua tahun ini.
Kemana saja saya selama ini, baru mengetahui persoalan itu?
Mereka sudah banyak yang berencana alih lahan ke komoditas lain karena tak bisa bertahan lagi. Sedihnya, saya juga baru tau kalau produk gula hasil dari petani tebu kita sedang digempur habis-habisan oleh gula impor dan permainan perdagangan gula di balik itu.
Semakin sedih juga, saat suatu siang di pinggiran lahan tebu di daerah Bululawang, seorang petani tebu bercerita sempat terkena struk karena memikirkan kerugian yang dialaminya.
Saya yang selama ini selalu melewatkan berita-berita ekonomi, terlebih yang berkaitan dengan pangan dan pertanian jadi lebih sering menyempatkan waktu untuk membaca satu persatu secara detail. Beberapa kali saat membaca yang bisa saya pahami, saya langsung membayangkan dampaknya ke masyarakat. Bukan saja konsumen tetapi juga produsen. Petani, peternak, nelayan...Mereka yang menggantungkan hidupnya di sektor itu. Seringkali tiba-tiba terbayang wajah-wajah orang yang sudah saya temui secara acak dan tiba-tiba dalam dua minggu masa kerja ini. Cara mereka bertutur, raut wajah dan cerita hidup mereka.
Soal pekerjaan ini, jelasnya, saya bersyukur bisa belajar di swaratani. Meskipun harus mulai belajar untuk hidup irit dan berdamai dengan keterbatasan karena bersikukuh ingin mandiri setelah bekerja, saya merasa sudah nyaman dengan pilihan ini.
Rencana selanjutnya, saya ingin membiasakan diri untuk lebih disiplin, bertanggunjawab, inisiatif dan mengurangi kebiasaan menunda. Malam ini, saya kelimpungan dengan daftar wawancara yang menumpuk dan belum ditranskrip. Padahal, sebaiknya saya sudah bisa mengirimkan hasil beritanya paling tidak, besok. Hehehe.
Baiklah, saya akan mulai menyelesaikannya, dengan 'gembira' dalam artian yang sebenarnya.
Selamat malam, para pengembara!
Comments
Post a Comment