Saya, kemiskinan di kepala dan cerita di ujung sawah
“Ya... Mari, silahkan masuk”, ujarnya.
Ia menyambut saya dengan ramah, lalu kami bicara soal nasib
petani indonesia dan politik pembangunan dalam durasi yang panjang. Selama 60 menit
lebih saya mendengarkannya bercerita berbagai hal terkait itu.
Pertama, ia menjelaskan sejarah perkembangan agraria, dimana
petani Indonesia terus menjadi objek yang sengsara dari waktu ke waktu. Mereka
selalu identik dengan kondisi lemah dan tidak berdaya menghadapi hal-hal yang
menyulitkan. Tidak berdaya menghadapi politik pembangunan yang dari era ke era
sama-sama tak bisa membuat mereka berdaulat.
Prof. Sodik, dengan tuturnya yang sendu dan pelan, juga
mengenang kembali masa-masa ia duduk sebagai hakim bidang agraria di MK RI.
Betapa ia seringkali tidak bisa tidur tenang sebab nalurinya untuk terus berada
di pihak mereka yang tak berdaya, terus digerus oleh kepentingan politik dan permainan
kekuasaan di pusaran ‘hal-hal yang berkaitan dengan uang, investor, saham, dan
sekaligus kerusakan lingkungan serta masyarakat yang dirugikan
diwaktu yang bersamaan’.
“Hukum kita loyo, saya akui. Untuk keberpihakan petani, aspek
hukum kita enggak mempan. Di tataran atas, kondisinya sangat rumit. Bahkan
lebih rumit ketika mereka juga terlibat dalam investasi industri,” tuturnya.
Ketika ia sampai pada bagian itu, cerita-cerita yang tak bisa kumuat
pada tulisanku sendiri, tugas peliputan dari media swaratani, kusimpan
baik-baik dalam bentuk rekaman, rekap tulisan dan ingatan.
Ia sebenarnya tak banyak menggambarkan hal-hal yang membuatku
sangat terkejut. Sebab, sebagai seorang yang masih gemar
berselancar pada isu-isu seputar sosial dan politik, polah pemerintahan kita
yang sakit itu bukan lagi sebuah kabar heboh.
Patologi birokrasi yang menggerogoti tubuh aparatur negara
kita, bukan lagi suatu hal yang membuat kita panik seketika mendengarnya.
Barangkali kita memang sudah terbiasa dengan itu, mewajarkannya, dan oleh sebab
itu, kita jarang sekali marah karenanya. Barangkali juga, sebab itu mereka
semakin giat menciderai kepercayaan kita, sebab kita tak marah, ya?
Pun demikian, saya yang perasa dan selalu sentimen, masih juga
merasa panas dan tak enak hati mendengar pengakuan-pengakuannya. Dibalik ini,
dibalik itu, dibalik tambang besar yang sekalipun merugikan negara tapi terus
dipertahankan, dibalik pendirian sebuah mall yang kendati sudah ditolak tetap
kokoh berdiri, dibalik tambang semen yang menyakiti irigasi lahan petani, dibalik
pemodal yang berpuluh-puluh tahun menguasai puluhan hektar tanah negara, dan
sebagainya, dan sebagainya.
“Mengapa keberpihakan negara kepada petani kok sebegitu kecilnya?”, satu kalimat tanya dari Prof. Sodiki yang
membuat saya menarik napas berat saat itu.
Petani, kemiskinan, produk hukum yang melemahkan ruang gerak
petani, kebijakan yang tak mengakomodasi kepentingan petani dan politik
pembangunan yang terus menghimpit hingga satu persatu jumlah mereka berkurang.
Ironis, sebuah negara agraris dengan sejarah buruk perlakuan terhadap mereka
yang juga para pahlawan di balik ketersediaan pangan kita.
Kondisi-kondisi baru yang sedang berusaha saya kenali itu lalu membuat saya sering termenung dan terus mempertimbangkan: “Bagaimana
saya mengontrol kekecewaan dan kemarahan yang terus bertambah ini? Bagaimana
saya menghadapi realita yang tak pernah saya sentuh lebih jauh ini? Apa yang
bisa saya lakukan untuk memperbaiki yang hancur lebur ini?”, dan pertanyaan-pertanyaan
itu, lambat laun membuat saya merasa patah hati.
Bukan hanya patah hati pada mereka; oknum-oknum yang sudah
sakit dalam segala tingkatan di tubuh negara kita, tapi juga pada saya sendiri.
Saya, tentu saja ingin segera memulai sebuah kerja pembebasan
yang entah akan dirayakan dalam wujud apa. Saya masih terus mencari ruang dan
metode yang tepat. Baik, kesimpulannya, saya masih belajar untuk mempersiapkan
itu dengan baik.
Hah, lagi-lagi, alibi saya soal ‘masih belajar’ membuat saya
memaklumi ketidakberdayaan ini. Sebuah pledoi dari pemudi yang malas dan tidak
visioner.
Ya. Kepala saya sebegitu miskinnya untuk memikirkan persoalan
itu.
Sebegitu miskinnya...
Comments
Post a Comment