Saya, kemiskinan di kepala dan cerita di ujung sawah





Sore itu, saya berkunjung ke rumah seorang mantan hakim mahkamah konstitusi. Prof. Dr. Ahmad Sodiki, begitu ia dikenal. Ketika membuka pagar rumahnya yang sederhana di daerah Cibogo Malang, beberapa saat ia muncul dengan sosok yang juga sederhana dan perangai yang menyenangkan dari balik pintu.

“Ya... Mari, silahkan masuk”, ujarnya.

Ia menyambut saya dengan ramah, lalu kami bicara soal nasib petani indonesia dan politik pembangunan dalam durasi yang panjang. Selama 60 menit lebih saya mendengarkannya bercerita berbagai hal terkait itu.

Pertama, ia menjelaskan sejarah perkembangan agraria, dimana petani Indonesia terus menjadi objek yang sengsara dari waktu ke waktu. Mereka selalu identik dengan kondisi lemah dan tidak berdaya menghadapi hal-hal yang menyulitkan. Tidak berdaya menghadapi politik pembangunan yang dari era ke era sama-sama tak bisa membuat mereka berdaulat.

Prof. Sodik, dengan tuturnya yang sendu dan pelan, juga mengenang kembali masa-masa ia duduk sebagai hakim bidang agraria di MK RI. Betapa ia seringkali tidak bisa tidur tenang sebab nalurinya untuk terus berada di pihak mereka yang tak berdaya, terus digerus oleh kepentingan politik dan permainan kekuasaan di pusaran ‘hal-hal yang berkaitan dengan uang, investor, saham, dan sekaligus kerusakan lingkungan serta masyarakat yang dirugikan diwaktu yang bersamaan’.

“Hukum kita loyo, saya akui. Untuk keberpihakan petani, aspek hukum kita enggak mempan. Di tataran atas, kondisinya sangat rumit. Bahkan lebih rumit ketika mereka juga terlibat dalam investasi industri,” tuturnya.




Ketika ia sampai pada bagian itu, cerita-cerita yang tak bisa kumuat pada tulisanku sendiri, tugas peliputan dari media swaratani, kusimpan baik-baik dalam bentuk rekaman, rekap tulisan dan ingatan.

Ia sebenarnya tak banyak menggambarkan hal-hal yang membuatku sangat terkejut. Sebab, sebagai seorang yang masih gemar berselancar pada isu-isu seputar sosial dan politik, polah pemerintahan kita yang sakit itu bukan lagi sebuah kabar heboh.

Patologi birokrasi yang menggerogoti tubuh aparatur negara kita, bukan lagi suatu hal yang membuat kita panik seketika mendengarnya. Barangkali kita memang sudah terbiasa dengan itu, mewajarkannya, dan oleh sebab itu, kita jarang sekali marah karenanya. Barangkali juga, sebab itu mereka semakin giat menciderai kepercayaan kita, sebab kita tak marah, ya?

Pun demikian, saya yang perasa dan selalu sentimen, masih juga merasa panas dan tak enak hati mendengar pengakuan-pengakuannya. Dibalik ini, dibalik itu, dibalik tambang besar yang sekalipun merugikan negara tapi terus dipertahankan, dibalik pendirian sebuah mall yang kendati sudah ditolak tetap kokoh berdiri, dibalik tambang semen yang menyakiti irigasi lahan petani, dibalik pemodal yang berpuluh-puluh tahun menguasai puluhan hektar tanah negara, dan sebagainya, dan sebagainya.

“Mengapa keberpihakan negara kepada petani kok sebegitu kecilnya?”, satu kalimat tanya dari Prof. Sodiki yang membuat saya menarik napas berat saat itu.

Petani, kemiskinan, produk hukum yang melemahkan ruang gerak petani, kebijakan yang tak mengakomodasi kepentingan petani dan politik pembangunan yang terus menghimpit hingga satu persatu jumlah mereka berkurang. Ironis, sebuah negara agraris dengan sejarah buruk perlakuan terhadap mereka yang juga para pahlawan di balik ketersediaan pangan kita.

Kondisi-kondisi baru yang sedang berusaha saya kenali itu lalu membuat saya sering termenung dan terus mempertimbangkan: “Bagaimana saya mengontrol kekecewaan dan kemarahan yang terus bertambah ini? Bagaimana saya menghadapi realita yang tak pernah saya sentuh lebih jauh ini? Apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki yang hancur lebur ini?”, dan pertanyaan-pertanyaan itu, lambat laun membuat saya merasa patah hati.

Bukan hanya patah hati pada mereka; oknum-oknum yang sudah sakit dalam segala tingkatan di tubuh negara kita, tapi juga pada saya sendiri. 

Saya, tentu saja ingin segera memulai sebuah kerja pembebasan yang entah akan dirayakan dalam wujud apa. Saya masih terus mencari ruang dan metode yang tepat. Baik, kesimpulannya, saya masih belajar untuk mempersiapkan itu dengan baik. 

Hah, lagi-lagi, alibi saya soal ‘masih belajar’ membuat saya memaklumi ketidakberdayaan ini. Sebuah pledoi dari pemudi yang malas dan tidak visioner.

Ya. Kepala saya sebegitu miskinnya untuk memikirkan persoalan itu.
Sebegitu miskinnya...



Comments

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula