Membaca Malna di bulan November

Motor odong-odong teman kantor saya, Pupi, membawa saya bertemu puisi Malna lagi.

Sepulang dari bercengkrama seharian penuh di kantor ALIT dan puas minum kopi luwak asli yang disuguhkan oleh Mak (panggilan salah satu keluarga ALIT, seorang laki-laki tulen berbadan tegap, berwajah tegas, dan bersuara besar), saya dan Pupi punya energi berlebih untuk tidak langsung pulang ke rumah kemarin malam.

Saya cukup gembira, sebab, selain mendapat jatah libur terselubung, saya juga kenyang dengan asupan gizi dari orang-orang cerdas, inspiratif, telah berbuat banyak hal yang tak sekedar diada-adakan agar ada, dan punya prinsip yang kuat untuk tidak menjadi orang-orang oportunis yang melakukan segala hal hanya untuk memuaskan dahaganya sendiri. Apalagi, memanfaatkan kesulitan hidup orang lain untuk mencapai ambisi naifnya.

Kegembiraan itu patut dirayakan. Tapi mengelilingi jalanan seputar Achmad Jais, dibonceng Pupi dengan motor bututnya yang tak lebih nyaman dari naik odong-odong, tentu kurang strategis untuk meluapkan kegembiraan itu. Saya justru sibuk mengaduh setiap kali melewati aspal yang kasar, jalan berlubang, atau polisi tidur. Luar biasa sensasi naik motor yang shock breakernya sudah kehilangan rohnya itu....

Kami berdua akhirnya memutuskan untuk berhenti di toko buku Petra Togamas, di daerah Ngagel, demi kesehatan organ dalam kami. Tempatnya sangat lumayan, toiletnya bersih (ini indikator tempat yang lumayan bagi saya, apapun produk dan jasa yang dijual :p), ada kedai kopi dan makanan, kios fotobox, tempat parkir yang luas, dan suasana yang tenang. Toko bukunya sendiri cukup luas, sekaligus sangat panas karena AC-nya cuma menjangkau beberapa titik. :p Lumayan, sauna sambil melihat-lihat banyak buku baru.

Bertemu buku puisi Malna berjudul 'Berlin Proposal', yang tinggal satu eksemplar saja di rak bagian sastra, melengkapi kegembiraan saya kemarin. Tahun lalu, saya membaca karya Malna untuk pertamakalinya lewat Museum Penghancur Dokumen. Saya jatuh cinta pada kejanggalan Malna dalam menulis puisi, imajinasinya yang out of the box, cara dia memberi kehidupan pada benda-benda mati, menyampaikan banyak hal bermakna dengan plot-plot unik yang ia ciptakan, dan sekali lagi, segala keganjilan yang ia tuangkan menjadi puisi-puisinya yang rumit tapi menyenangkan. Bahasanya yang imajinatif sungguh seperti udara segar yang lewat di sela-sela ruang kepala saya yang penat...

Hutan alder yang berdandan, rajutan dingin, bau dingin kamera, bau manusia yang membusuk di tubuhku, seorang polisi meminjam sunyi di ujung jalan priselplatz, kenangan yang meminjam puing-puingnya di depan pintu....dan puluhan kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan yang ditulis Malna serampangan pada puisi-puisinya. Absurd, spontan, dan mengejutkan. Bukan perasaan bahagia, atau kesedihan, yang biasanya ditinggalkan oleh puisi-puisi pada umumnya, membaca Malna justru kadang membuat saya ketagihan karena perasaan bingung, sekaligus bebas. Terkadang frustasi di tengah-tengah usaha untuk memaknai hubungan antar kata yang kadang sungguh kurang masuk akal, tapi juga seperti ingin mendapatinya berulang kali di balik halaman lainnya.

Catatan penting soal puisi Malna, tak perlu selalu memahami makna untuk menyayangi tulisan-tulisannya.

Berlin proposal, cetakan I, Juni 2015
Ada beberapa halaman puisi yang membuat saya nggegek ketika menemukannya kemarin, di angkringan. Sambil ngemil sosis Solo, saja senyum-senyum sambil membatin, wtf, apaan nih maksudnya...
Berikut saya bagikan fotonya :p

Puisi tektonik digital, hahahaha

Memotret cermin

Puisi digital

Mohon maaf ini maksudnya gimana ya? Apa cuma saya yang bingung nih, ahaha

Di buku ini, saya belum menemukan puisi favorit saya, sebab masih sampai di chapter pertama. Ada 3 chapter yaitu berlin proposal, kaldera, dan arsip pemotretan tubuh. Tapi, dari yang sudah saya baca, saya suka puisi yang menjadi judul buku ini, berlin proposal.

berlin proposal

neon dalam isolasi cahaya, dinding membatalkan
bangunan, tubuh yang dibatalkan dari binatang. berlin,
paris, london - membatalkan peta-peta modernisme
--moskow, zurich, new york, aku batalkan antara
perang dunia 1, antara surealisme, dada - roti yang
membatalkan ladang gandum -- ekspresionisme,
ah marxisme, dengarkan surara mesin pembatalan
yang tercetak tebal, agak tebal, dan semakin tebal:
pengarang perang dengan sebuah pistol dalam filsafat,
penghancuran makna dalam puisi, aku batalkan, siapa
yang membuat ledakan di dalam ledakan, permainan
kanan dan kiri, aliran rekening-rekening gelap ke
zurich, ideologi di bawah ladang-ladang minyak, batu
bara, uranium, membatalkan industri kematian. siapa 
pengarang pe-rang dunia ke 2, aku batalkan moskow-
new york yang keluar masuk dalam jahitan yang
membelah sebuah kota, mengirim kontainer-kontainer
pop-art, generasi  bunga, post-modernisme ke seluruh
ladang-ladang konsumerisme, menghibur jutaan
mayat dalam museum-museum pembesaran sejarah.
menyesatkan waktu di bawah reruntuhan monumen-
monumen penggelapan, gudang kesunyian hesse
yang membatalkan potret bunuh diri monroe. siapa
pengarang timur dan barat, aku batalkan. kata dalam 
isolasi sejarah, puisi dalam isolasi perdagangan senjata.
siapa yang mengarang ulang tahun di dalam perang?
konstruksi yang menarikan arsitektur kehancuran, aku
batalkan kemanusiaan di atas sungai spree. sejarah
sebagai senjata yang dikirim melalui pesawat-pesawat
tempur ke dalam setiap jiwa yang takut, bertahan
dalam setiap gempuran mata uang, berlin sunrise dari
fink, seperti burung-burung dara, mengumpulkan 
serpihan-serpihan matahari, membuat sebuah pagi di
atas sungai spree.

aku tidak bisa membaca puisi dengan coklat dalam mulutku.

(berlin proposal, halaman 42)

Comments

Popular posts from this blog

Prospek Sarjana Ilmu Politik: Ekspektasi Vs Realita

Donat Kentang dan Kesalahan-Kesalahan Kecil Bagi Pemula