What I see tonight [7:30 - 8:00 PM]
I
Seorang lelaki berusia kisaran kepala lima, mengayuh sepedanya dengan kecepatan yang lamban. Cat sepeda pantai miliknya tampak kusam. Mungkin sepeda itu sudah terlalu lama menemani. Saat jalanan sepi, kau bahkan bisa mendengar derit dari bagian pedal yang dikayuh kedua kakinya.
Ada dua keranjang yang terbuat dari anyaman bambu di kedua sisi belakang sepeda. Di dalamnya , ada lapisan plastik bening dan tebal yang warnanya kecoklatan diselingi totol-totol lumut, yang tentu saja warnanya hijau. Aku serius, kau bahkan bisa menangkap warna-warna itu di bawah lampu kuning di pinggiran jalan.
Kedua keranjang itu berisi air yang hampir penuh. Di atasnya, sebuah kayu digantung mendatar dengan ketinggian sekitar tiga puluhan sentimeter. Kau bisa menemukan bekas-bekas ikat plastik yang dipotong, di sepanjang kayu itu. Pertanda; dagangan-dagangan yang dibawa lelaki itu sudah laku. Atau sebaliknya. Ia harus memotong bungkusan-bungkusan air berisi ikan emas yang tak kunjung laku, lalu memasukkan ikan-ikan itu kembali ke keranjang. Sebab jika tidak, mereka bisa mati menggembung di dalam plastik. Entahlah. Semoga bekas-bekas ikat plastik itu sungguh berganti dengan beberapa lembar rupiah di kantong celananya.
Sekitar pukul sepuluh siang tadi, aku menjumpai lelaki itu lewat di depan rumahku. Ia tidak mengayuh sepedanya. Ia menuntunnya sambil berjalan kaki. "Kan hias, Kan hias." Samar-samar masih kuingat ia menawarkan ikan-ikan itu dengan suara yang tak cukup kencang, cenderung ambigu. Kau bahkan harus cepat-cepat mengintip dari balik tirai jendela rumahmu yang kebetulan tertutup, lalu melihat dengan seksama apa yang ia bawa untuk paham apa yang tengah ia tawarkan. Ya, lelaki itu menuntun sepedanya, berjalan kaki, menawarkan ikan-ikan itu dengan suara tak jernih, pada dua baris perumahan yang hampir semuanya tutup pada jam-jam itu.
Pukul setengah delapan malam, aku bertemu dengannya lagi. Ia masih di jalan. Mengayuh sepedanya dari arah selatan. Entah sejauh apa ia menawarkan ikan-ikan itu dan apa yang terjadi selama ia berdagang ikan. Siapa yang membeli, kemana ia berkeliling, dan kemana ia pulang.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, lagi-lagi aku berjumpa lelaki itu di persimpangan jalan lain. Ia menuju arah timur. Pukul delapan malam lebih. Saat memandang sekilas pada mimik mukanya yang lelah, kau mungkin juga akan terus terbayang; seberapa jauh lagi perjalanannya untuk sampai di rumah? Meluruskan kedua lututnya yang tentu tak mungkin jika tak timbul rasa nyeri setelah bersepeda berjam-jam. Sudahkah ia makan seharian tadi, dan, apa yang akan menyelimuti isi kepalanya saat hendak tidur nanti? Perjalanan esok hari, menangkap ikan, merelakan ikan yang mati, atau... ia punya sesuatu yang membuatnya bersikeras mengulangi rutinitas berdagang ikan hias dari hari ke hari?
Kau juga bisa saja terus diburu rasa penasaran untuk mendapat jawaban dari urusan yang bukan urusanmu, seperti 'Apakah dalam hidup, ia sudah merasa bahagia?'
II
Seorang petugas parkir minimarket hendak menyeberang jalan. Ditangannya ada segelas teh yang mungkin saja panas, sebab ia melapisinya dengan topi yang seharusnya ia kenakan di atas kepala. Sembari mengempit tongkat parkir di ketiaknya, ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Berhati-hati karena jalanan di simpang tiga sedang ramai.
Petugas parkir tersebut kira-kira berusia kepala enam. Senja sekali untuk seorang petugas parkir, kan? Kau jangan salah. Badannya, meskipun sungguh kurus, ia masih bisa berdiri tegap dan cekatan mengayun tongkat parkirnya ke jalan jika pengunjung minimarket hendak menyeberang.
Ia sudah bekerja di sana sejak mini market itu pertama dibuka. Kalau tak salah, tahun pertama aku sekolah tingkat menengah atas. Delapan tahun yang lalu.
Betapa panjang umurnya. Dan ia masih tampak sehat. Biasanya, ia akan pulang pada pukul sepuluh malam dengan sepeda motor koplingnya. Entah di mana rumahnya. Pukul delapan pagi, ia sudah berjaga kembali.
Delapan tahun. Hingga ia sudah tampak terlalu tua untuk bekerja. Tapi ia masih di sana, sibuk menata kendaraan pengunjung dengan mimik wajah yang tak pernah berubah. Ia masih lelaki penjaga parkir yang tidak pernah murung.
Mungkin jika kau sudah mengamatinya selama tahun-tahun itu, kau juga akan diserang keinginan untuk mengetahui jawaban dari urusan yang bukan urusanmu, seperti; 'Apakah dalam hidup, ia sudah merasa bahagia?'
III
Seorang perempuan lanjut usia berusia kisaran kepala enam, duduk di depan sebuah pintu mesin ATM. Ia duduk menekuk lutut di undak-undak lantai teras tanpa alas, menawarkan dagangannya yang ditata pada sebuah keranjang gendong.
Pisang rebus, kacang rebus, ubi rebus, kerupuk, dan rempeyek. Ia konsisten menjual hal yang sama di tempat yang sama, sepanjang hari, sejak aku masuk perguruan tinggi hingga kini terkatung-katung menanti pekerjaan yang kuanggap layak.
Bagaimana ia berangkat, bagaimana pulang, adalah misteri. Sebab sepagi apapun, dan semalam apapun, ia sudah ada di sana.
Kau bisa bayangkan bagaimana ia pulang? Ia mungkin tak bisa naik motor atau juga sepeda dengan kain jarit yang membungkus setengah badan bawahnya dengan rapat. Tak ada kemungkinan naik kendaraan umum sebab tak ada yang lewat di jalanan itu selain bus menuju Surabaya dengan tarif jauh dekat seharga dua puluh ribu.
Adakah yang mengantar atau menjemputnya? Mungkinkan keluarga? Atau, mungkin ia berjalan kaki.
Entahlah.
Selama lima tahun aku menjumpainya di depan mesin ATM, di penghujung usianya yang semakin senja, apakah dalam hidup, ia sudah merasa bahagia?
***
What I see tonight,
orang-orang punya jalan hidupnya sendiri, berjuang dengan cara mereka sendiri, punya sikap yang berbeda dalam menghadapi perjalanannya yang panjang,
dan mungkin juga; punya definisi yang berbeda soal bahagia dan merasa bahagia.
Mereka mungkin saja jauh lebih bahagia dari orang-orang parlemen yang masih saja mengeluhkan gaji sekian puluh juta dengan fasilitas-fasilitas yang tak pernah menyulitkan.
Barangkali hidup mereka jauh lebih menyenangkan?
Note to myself:
Being happy doesn't mean everything must be perfect. It means you've to look beyond the imperfections.
It's also not about forcing the happiness. But it's about not letting the sadness win.
Comments
Post a Comment